Indahnya Cinta

Indahnya Cinta

“Karena cinta dan demi cinta langit dan bumi diciptakan, dan atas dasarnya mahluk diwujudkan, demi cinta seluruh planet beredar dan dengannya pula semua gerak mencapai tujuannya serta bersambung awal dan akhirnya. Dengan cinta semua jiwa meraih harapan dan mendapatkan idamannya serta terbebaskan dari segala yang meresahkan”.


Demikian pandangan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (wafat 1350 M).

“Seandainya waktu untuk hidup tinggal lima menit lagi untuk mengatakan sesuatu, maka semua telepon umum akan dipenuhi orang-orang yang menelpon orang lain untuk mengatakan padanya “Aku cinta padamu” (Christopher Morly)

Tidak ada rasa takjub yang lebih memukau daripada rasa takjub karena cinta atau mencintai. Tapi apakah cinta itu ?

Tidak mudah menjelaskannya. Ulama besar, Ibn Hazm, yang wafat sekitar seribu tahun yang lalu, tepatnya 456 H, menulis sebuah buku yang berjudul Thauq al-Hamamah (Kalung Merpati), yang menggambarkan pengalaman pribadinya dan pengalaman orang lain dalam memahami cinta. Ulama itu menulis :

Cinta, awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariatpun tidak melarangnya, karena hati di tangan Tuhan, Dia yang membolak-baliknya.”

Karena cinta tidak dapat dilukiskan maka sementara pakar berkata: “Keterangan tentang cinta, bukanlah cinta”

Mereka yang berusaha menjelaskan, menggunakan berbagai ungkapan bahasa, antara lain : bahasa moral, sosioligi, atau biologi dan tidak sedikit yang menjelaskan dengan bahasa filsafat atau tasawuf. Belum lagi bahasa pemuda yang sering berbeda pandangan dengan orang dewasa yang berpengalaman, sehingga ditemukan penjelasan dalam berbagai literatur, termasuk literatur keagamaan.

Cintapun bermacam-macam, ada cinta kepada Allah, ada cinta kepada manusia, bahkan kepada tanah air, binatang dan benda tak bernyawa, tergantung makna kata cinta dimaksud. Cinta yang beraneka ragam itu bermacam-macam pula. Ada yang cepat mekarnya cepat pula layunya, ada yang sebaliknya, lambat mekarnya lambat layunya atau bahkan tidak layu, ada pula yang cepat mekarnya tapi lambat layunya dan ada juga yang sebaliknya, demikian pula masa berlangsung. Ada cinta yang tertancap di dalam sanubari, ada bagaikan pohon, yang akarnya terhujam ke bawah di pucuknya banyak buah. Cinta semacam ini menjadikan si pecinta terpaku dan terpukau bahkan tidak menyadari keadaan sekelilingnya karena yang dirasakan serta terlihat olehnya hanya sang kekasih. Ada juga yang bertengger dipermukaan hati, seumur mawar, sekejab saja bertahan lalu layu, tidak mampu menahan rayuan pihak lain atau tidak sabar menahan deritanya.

Cinta sejati antara manusia terjalin bila ada sifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta melekat pada sosok yang dicintainya dan yang terasa olehnya. Rasa inilah yang mendorong dan menguatkan kecenderungan itu. Semakin banyak dan kuat sifat-sifat yang dimaksud, dan semakin terasa oleh masing-masing pihak, semakin kuat dan dalam pula jalinan hubungan mereka. Demikian kurang lebih uraian Ulama besar Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, yang hidup pada pertengahan abad ke 8 Hijriyah.

Dengan demikian, lahirnya cinya tidak cukup dengan hadirnya sifat yang disenangi kekasih pada diri pribadi seseorang, tetapi kehadirannya itu harus disadari dan dirasakan oleh mitranya. Karena itu boleh jadi seseorang sangat cantik atau gagah, boleh jadi sangat baik dan jujur, yang merupakan sifat-sifat yang disenangi, tetapi bila itu tidak disadari dan dirasakan, maka keistimewaan itu tidak mengundang cinta.

Tapi apakah cinta dan bagaimana ia diukur ? Banyak sekali uraian yang berusaha menjelaskannya. Namum kesemuanya belum cukup jelas untuk mengetahui hakikatnya. Hal ini agaknya disebabkan karena cinta tidak dapat dideteksi kecuali melalui gejala-gejala psikologis, sifat-sifat, prilaku dan pengaruh yang diakibatkan pada diri seseorang yang mengalaminya. Cinta adalah gabungan dari sekian banyak unsur yang tidak dapat dilihat oleh pandangan mata, bahkan sulit dideteksi oleh perasaan.


Keajaiban Hati

Cinta pada fase-fase awal dapat layu dan mati. Yang mencintai dituntut untuk setia dan memenuhi komitmennya, tetapi dalam saat yang sama – pada fase-fase pertama cinta – ada semacam keengganan untuk memenuhinya. Rasa ini dipendam ke dalam lubuk terdalam jiwa si pencinta, sehingga bila terjadi sesuatu yang amat menjengkelkan maka ketika itu dengan sangat mudah tumpukan keengganan yang tertanam di lubuk hati itu, muncul ke permukaan sehingga cinta seketika itu pula beralih menjadi benci.

Demikian sering terlihat pada anak-anak dan remaja yang sering menamakan hubungan mesra mereka “cinta”. Bahkan walau bukan remaja, orang dewasa pun demikian, karena itulah salah satu ciri hati manusia. Atas dasar itu pula hati dinamai “kalbu”, dalam arti sesuatu yang berbolak balik, sekali senang dan di kali lain susah, sesaat cinta dan saat yang lain benci. Al-Qur’an mengisyaratkan hal ini ketika berbicara tentang kebencian dan permusuhan.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat : 34)

Mengapa menurut redaksi ayat di atas “tiba-tiba” dan mengapa (beralih keadaannya) seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia? Salah satu jawabannya adalah sebagai berikut:

Perasaan adalah kumpulan dari emosi. Emosi adalah situasi kejiwaan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu namun bersifat sementara, sedang perasaan berkaitan dengan suatu obyek yang dialami berdasar pengetahuan dan pengalaman. Perasaan adalah kumpulan dari sekian banyak emosi yang terjadi secara teratur dan tertuju kepada satu objek. Kebencian yang menyelimuti perasaan seseorang murid terhadap guru, misalnya, terbentuk pertama kali dengan emosi takut kepadanya, saat ia menemukan sang guru berlaku kasar. Kemudian bergabung dengan emosi ini, emosi-emosi lainnya seperti marah jika ia menjatuhkan hukuman, harapan agar ia tak hadir mengajar, risih dengan penampilannya, serta bergembira jika ia mendapat musibah. Nah, perasaan cinta pun demikian. Karena itu, bukan rasa cinta namanya jika kecenderungan hati lahir pada pandangan pertama.

Jiwa manusia sangat ajaib, ia merupakan alam kecil, namun mampu mencakup alam besar dengan segala kontradiksinya, bahkan menyangkut satu objek pun, perasaan manusia terhadapnya mengadung kontradiksi. “Setiap perasaan betapapun agung dan luhurnya, tetap mengandung benih-benih perasaan yang bertolak belakang dengannya. Perasaan mempunyai logika yang berbeda dengan logika akal. Akal tidak dapat menggabung dua hal yang bertolak belakang, tetapi tidak demikian dengan hati. Karena itu, tidak ada cinta tanpa benci, tidak ada pula rahmat tanpa kekejaman.” Demikian tulis Hamid Thaha al-Khaysyab, Guru Besar Psikologi Universitas al-Azhar, Mesir. Tentu saja yang dimaksud bukan cinta dan rahmat Ilahi, yang substansinya berbeda dengan cinta dan rahmat mahluk.

Apabila ada seseorang memusuhi orang lain dan memperlakukannya dengan tidak wajar, maka pada saat itu pula – disadari atau tidak – ada benih kebaikan dalam diri yang memusuhi itu yang dia tekan dan pendam ke bawah sadarnya. Tetapi jika perlakuan tidak wajar tersebut dihadapi dengan sikap lemah lembut dan sikap bersahabat, maka kemungkinan besar, kelemahlembutan itu mengundang benih-benih kebaikan yang selama ini terpendam, dan pada saat itu yang dimusuhi dapat dengan mudah menyambut sikap dan kebaikan yang disajikan oleh musuhnya tadi, sehingga lahir hubungan baik, yang digambarkan oleh ayat di atas, dengan “tiba-tiba mereka yang tadinya bermusuhan itu, seolah-olah menjadi teman yang amat setia”

Nah, demikian juga dengan yang saling mencintai, khususnya pada fase-fase pertamanya cinta mereka, bisa saja cinta yang terbina antara keduanya, beralih menjadi benci, jika ada sikap dan perlakuan yang dirasakan sangat tidak wajar dari pasangannya dan ketika itu hubungan yang tadinya mesra berubah menjadi konflik seolah-olah mereka adalah musuh yang sangat dibenci. Rasa sakit yang dialami ketika itu sangat perih, melebihi sakitnya perlakuan yang lebih buruk dari orang lain yang tadinya merupakan musuh. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa “cinta dapat layu bahkan mati” dan karena itu pula agama tidak hanya menuntut terjalinnya cinta antara suami istri, tetapi di atas cinta yang mawaddah, ada rahmat dan amanah yang harus terus dipupuk dan dipelihara.

Cinta dan Perkawinan

Perlukah cinta dalam menjalin hubungan suami istri dan membina rumah tangga ? Jawaban yang diterima biasanya adalah “perlu, bahkan mutlak!”. Tetapi sebagian antropolog berpendapat “penelitian terhadap sekian banyak masyarakat primitive membuktikan masyarakat tersebut tidak mengenal apa yang kita namakan cinta”. Hal tersebut dikemukakan Sana’ Alkuhuly, guru besar sosiologi Universitas Alexandria, Mesir.

Penulis berpendapat, benar kalau kita berkata “cinta tidak harus mendahului perkawinan”, hal ini dapat diterima dan bisa terjadi, terbukti pada masyarakat Timur, khususnya pada masa-masa yang lalu. Maka dikenal ungkapan : “lebih penting mencintai yang dinikahi daripada menikahi yang dicintai.” Karena bisa saja sebelum menikah cinta telah terjalin tetapi setelah pernikahan cinta menjadi layu.

Imam Ghazali dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin, menuturkan macam-macam cinta. Salah satu penyebabnya menurut beliau adalah “keserupaan”. Yang serupa menurutnya, secara naluriah selalu tertarik pada yang menyerupainya. Namun, katanya lebih lanjut, hal yang bersifat bathiniah sangat sulit diungkap, dan juga memiliki sebab-sebab yang sangat halus, di luar kemampuan manusia mengetahuinya. Rasulullah saw. bersabda :

“Jiwa manusia masing-masing memiliki kesatuannya, yang saling mengenal akan mesra (hubungannya) dan yang tidak saling mengenal akan berselisih” (HR Muslim)

Imam Ghazali, lebih lanjut menjelaskan hadits di atas dengan memberikan ilustrasi yang dikemukakan oleh sementara ulama, yakni bahwa Allah swt. menciptakan jiwa manusia dan membelahnya, lalu menjadikan jiwa-jiwa tersebut berkeliling di ‘Arsy (“singgasana”) Tuhan. Yang terbelah dan saling bertemu di sana akan menjalin hubungan cinta kasih yang mesra dalam kehidupan dunia.

Kembali pada pandangan “Cinta tidak dikenal oleh masyarakat primitive”. Itu boleh jadi juga benar, jika dikatakan bahwa : “Perkawinan dapat saja langgeng tanpa cinta antara suami istri,” tetapi perkawinan semacam ini adalah “perkawinan murahan”. Memang, agama tidak melarangnya, demi anak, atau faktor lain, tetapi agama tidak menyenanginya. Allah telah menciptakan potensi mawaddah (cinta kasih) dalam jiwa suami istri yang harus mereka asah dan asuh sehingga kemesraan dan keharmonisan hubungan antara keduanya dapat terjalin dan perkawinan menjadi langgeng dalam kemesraan.

No comments:

Post a Comment

Masukan beripa kritik dan Saran ke arah yang membagun