Fungsi dan
manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di
perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari
tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat
yang berbahaya bagi kehidupan, tempat
singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung
lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah
mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi
perlindungan pantai. Berdasar
karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar kota
Padang pun
masih merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa tsunami Dilaporkan
bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik,
cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30
pohon/100 m2 dengan diameter
batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan
Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005).
Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi
gelombang sebesar 1.493,33 Joule
tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al.,
2002). Hasil penelitian Istiyanto et al.
(2003) yang merupakan pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan
bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap
energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang
tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang
tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi
(1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat meredam
energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove
1.
Mangrove dan Sedimentasi
Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang
terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda, Jakarta yang tidak
bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m
(Sediadi, 1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan
mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan
Gili Sulat Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m2
/th atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi
Sonneratia alba); 9,0 kg/m2 /th atau 6,4 mm/th (dominasi
Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m2
/th atau 4,3 mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2 /th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Dengan demikian,
rata-rata akumulasi tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m2 /th atau 9
mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m2 /th atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara
6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran mangrove. Informasi
semacam ini sangat diperlukan guna mengantisipasi
permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.
2. Mangrove dan Siklus Hara
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak
dilakukan. Hasil pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera
Timur oleh Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora
sebesar 1.267 g/m2 /th, B.
sexangula 1.269 g/m2 /th, dan 1.096 g/m2 /th untuk
komunitas B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove
Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m2 /minggu
daun dan ranting R. mucronata atau setara dengan 1.221 g/m2 /th
dan 2,30 g/0,25m2 /minggu daun dan ranting Avicennia marina atau
setara dengan 478,4 g/m2 /th, dan cenderung membesar ke arah garis
pantai.
Hasil pengamatan Halidah (2000) di Sinjai,
Sulawesi Selatan menginformasi-kan adanya perbedaan produksi serasah berdasar
usia tanamannya. R. mucronata 8 tahun (12,75 ton/ha/th), kemudian 10 tahun (11,68
ton/ha/th), dan 9 tahun (10,09 ton/ha/th), dengan laju pelapukan 74 %/60 hr
(tegakan 8 th); 96%/60 hr (tegakan 9
th), dan 96,5%/60 hr (tegakan 10 th).
Hasil pengamatan di luar pun memperoleh data produksi berkisar antara
5-17 ton daun Burkin, 1985). Sukardjo
(1995) menambahkan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar 13,08 ton/ha/th,
yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Nilai ini sangat berarti bagi sumbangan unsur
hara bagi flora dan fauna yang hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan
perputaran hara dalam ekosistem mangrove.
3.
Mangrove dan
Produktivitas Perikanan
Kebijakan
pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam
merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit
yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih
“kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang
tidak berhutan lagi (Bratamihardja, 1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar
130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres
No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin
(1979) dalam Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin
meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat
dengan membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan
dalam ton/th, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha.
Hasil
penelitian lain yang berkaitan dengan ekonomi menunjukkan bahwa pembuatan 1 ha
tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287
kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan
kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Pengurangan
hutan mangrove terutama di areal green
belt sudah barang tentu akan menurunkan produktivitas perikanan tangkapan.
4. Mangrove dan Intrusi Air Laut
Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil
penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak
dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah
Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik, masih tergolong
baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah
terintrusi pada jarak 1 km.
DAUR HIDUP MANGROVE
Untuk bisa bertahan dan berkembang menyebar di kondisi alam yang
keras, jenis-jenis bakau sejati mempunyai cara yang khas yaitu mekanisme
reproduksi dengan buah yang disebut vivipar. Cara berbiak vivipar
adalah dengan menyiapkan bakal pohon (propagule) dari buah atau bijinya
sebelum lepas dari pohon induk. Mangrove menghasilkan buah yang mengecambah,
mengeluarkan akar sewaktu masih tergantung pada ranting pohon dan berada jauh
di atas permukaan air laut. Bijinya mengeluarkan tunas akar tunjang sebagai
kecambah sehingga pada waktu telah matang dan jatuh lepas dari tangkai nanti,
telah siap untuk tumbuh. Buah ini akan berkembang sampai tuntas, siap
dijatuhkan ke laut untuk dapat tumbuh menjadi pohon baru. Bakal pohon yang
jatuh dapat langsung menancap di tanah dan tumbuh atau terapung-apung terbawa
arus, sampai jauh dari tempat pohon induknya, mencari tempat yang lebih
dangkal. Setelah matang dan jatuh ke dalam air, bakal pohon bakau ini
terapung-apung sampai mencapai tepi yang dangkal. Pada saat menemukan tempat dangkal, posisi bakal pohon menjadi tegak
vertikal, kemudian menumbuhkan akar-akar, cabang dan daun-daun pertamanya. Demikian
perkembangbiakan bakau secara alamiah. Tentu saja apakah bakal pohon bakau
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sangatlah bergantung pada faktor
lainnya seperti adanya hewan herbivora yang mungkin memangsanya, nutrien yang
cukup, air tawar dan adanya campur tangan manusia.
Adaptasi
lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan
yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian
berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang
ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji
sukar mempertahankan daya hidupnya. Hampir semua jenis flora hutan bakau
memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan
mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar:
yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Contoh
yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora),
tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera).
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa
tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh,
buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau
terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus
laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul
pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula
berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan
ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai
pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga
berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan
sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant)
berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang
cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah
perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam
dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan
menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
ZONASI MANGROVE
Kemampuan adaptasi dari tiap jenis
terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan
mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh
dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut.
Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan
lainnya.
Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok,
yaitu:
- Kelompok utama, terdiri
dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.
- Kelompok tambahan, meliputi
Excoecaria agallocha, Aegiceras sp., Lumnitzera, dan
lainnya.
Daya adaptasi atau toleransi jenis
tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya
zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan mangrove. Permintakatan jenis
tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses suksesi dan merupakan hasil
reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari luar seperti tipe tanah,
salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut. Pembagian zonasi
kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan
salinitas meliputi :
1. Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan
langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan
biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina
dan Sonneratia alba.
2. Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di
belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenis Rhizophora
apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B.
parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia
caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3. Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan
hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus
ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis
mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum,
Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta
dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia
asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma
candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia
populnea.
Hutan mangrove juga dapat dibagi
menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah
laut ke darat sebagai berikut:
1. Zona Avicennia, terletak paling luar
dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki
substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona
pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk
menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan
sedimen.
2.
Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa
lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini
masih tergenang pada saat air pasang.
SISTEM PERAKARAN
Selain pertanyaan tentang
adaptasi mangrove terhadap salinitas, beberapa pertanyaan yang masuk ke email
KeSEMaT, juga menanyakan mengenai berbagai tipe akar mangrove. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, sekali lagi, berikut ini kami cuplik informasi mengenai
daya adaptasi mangrove: tipe akar mangrove dari Modul Pendidian Lingkungan yang
ditulis oleh Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (2006).
Tipe akar mangrove ada beberapa macam. Sebenarnya, beranekanya jenis akar yang terdapat di mangrove adalah sebagai sebuah usaha mangrove untuk menghadapi habitatnya (daya adaptasi) berupa substrat lumpur dan kondisi lingkungannya yang selalu tergenang (reaksi anaerob). Flora mangrove, beradaptasi dengan membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove, tersebut di bawah ini.
Tipe akar mangrove ada beberapa macam. Sebenarnya, beranekanya jenis akar yang terdapat di mangrove adalah sebagai sebuah usaha mangrove untuk menghadapi habitatnya (daya adaptasi) berupa substrat lumpur dan kondisi lingkungannya yang selalu tergenang (reaksi anaerob). Flora mangrove, beradaptasi dengan membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove, tersebut di bawah ini.
1. Akar Pasak (pneumatophore) Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem
akar kabel dan memanjang ke luar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini
terdapat pada Avicennia, Xylocarpus, dan Sonneratia.
2. Akar Lutut (knee root) Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel
yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju
ke substrat lagi. Akar lutut seperti initerdapat pada Bruguiera spp. 3. Akar Tunjang (stilt root) Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang
akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat
pada Rhizophora spp (lihat foto di atas, nampak KeSEMaTERS sedang duduk di atas
akar tunjang milik Rhizophora mucronata di Arboretum). 4. Akar Papan (buttress root) Akar papan hampir sama dengan akar tunjang
tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini
terdapat pada Heritiera. 5. Akar Gantung (aerial root) Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang
yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai
substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus.
DAUR MAKANAN PADA MANGROVE
Semua organisme hidup akan selalu membutuhkan
organisme lain dan lingkungan
hidupnya. Hubungan yang
terjadi antara individu
dengan lingkungannya sangat kompleks,
bersifat saling mempengaruhi
atau timbal balik. Hubungan
timbal balik antara
unsur-unsur hayati dengan
nonhayati membentuk sistem ekologi didalam ekosistem. Didalam ekosistem terjadi rantai makanan/
aliran energy dan siklus biogeokimia.
Rantai makanan
dapat dikategorikan sebagai interaksi antar organisme dalam bentuk
predasi. Rantai makanan merupakan proses
pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui serangkaian jasad-jasad dengan cara
makan-dimakan yang berulang kali
(Romimohtarto dan Juwana,
1999). Terdapat tiga macam rantai pokok (Anonim 2008).yaitu
rantai pemangsa, rantai parasit dan rantai saprofit.
1. Rantai Pemangsa
Rantai
pemangsa adalah landasan
utamanya adalah tumbuhan
hijau sebagai produsen. Rantai pemangsa dimulai dari
hewan yang bersifat herbivore sebagai konsumen I, dilanjutkan dengan
hewan karnivora yang memangsa herbivore sebagai konsumen ke 2 dan berakhir pada
hewan pemangsa karnivora maupun herbivora sebagai konsumen ke-3.
2. Rantai Parasit
Rantai
parasit dimulai dari
organisme besar hingga
organisme yang hidup sebagai
parasit. Contoh cacing, bakteri dan benalu.
3. Rantai Saprofit
Dimulai dari organisme mati ke
jasad pengurai. Misalnya jamur
dan bakteri. Rantai tersebut
tidak berdiri sendiri akan tetapi saling berkaitan satu dengan yang lainnya
sehingga membentuk faring-faring makanan. Sedangkan secara umum di perairan,
terdapat 2 tipe rantai makanan yang terdiri dari :
- Rantai Makanan Langsung.
Rantai
makanan langsung adalah peristiwa
makan memakan mulai dari tingkatan trofik
terendah yaitu fitoplankton sampai ke
tingkatan trofik tertinggi yaitu
ikan karnivora berukuran besar, mamalia, burung dan reptil . Hal ini
dapat dilihat pada ilustrasi berikut :
Dari
gambar diatas nampak
bahwa rantai makanan
langsung, bukanlah sebuah proses
ekologi yang dominan
terjadi di dalam ekosistem mangrove. Oleh karena
spesies ikan yang terdapat dalam ekosistem mangrove,
utamanya konsumer trofik
tertinggi, kebanyakan
adalah ikan pengunjung
pada periode tertentu
atau musim tertentu. Nontji (1993) menyatakan bahwa beberapa jenis ikan komersial
mempunyai kaitan dengan mangrove seperti bandeng dan belanak. Anonim (2009)
mengklasifikasikan ikan yang
terdapat dalam ekosistem
mangrove pada 4 (empat) tipe ikan, yaitu :
a. Ikan
penetap sejati, yaitu
ikan yang seluruh
siklus hidupnya dijalankan di
daerah hutan mangrove
seperti ikan Gelodok (Periopthalmus sp).
b. Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang
berasosiasi dengan hutan mangrove
selama periode anakan,
tetapi pada saat
dewasa cenderung menggerombol di
sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti
ikan belanak (Mugilidae), ikan Kuweh (Carangidae), dan ikan Kapasan,
Lontong (Gerreidae).
c. Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu
ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan
Kekemek, Gelama, Krot
(Scianidae), ikan Barakuda /
Alu-alu, Tancak (Sphyraenidae), dan
ikan-ikan dari familia
Exocietidae serta Carangidae.
d. Ikan
pengunjung musiman. Ikan-ikan
yang termasuk dalam kelompok ini
menggunakan hutan mangrove
sebagai tempat asuhan atau untuk
memijah serta tempat perlindungan musiman dari predator.
2. Rantai Makanan Detritus.
Pada ekosistem mangrove, rantai
makanan yang terjadi adalah rantai makanan
detritus. Sumber utama
detritus adalah hasil penguraian guguran
daun mangrove yang
jatuh ke perairan
oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana 1999).
Rantai makanan detritus dimulai dari
proses penghancuran luruhan dan
ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran
bahan organik (detritus)
ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien)
bagi cacing, crustacea,
moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993). Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrien
di dalam ekosistem mangrove dapat juga berasal
dari luar ekosistem, dari
sungai atau laut
. Lalu ditambahkan
oleh Romimohtarto dan Juwana (1999)
yang menyatakan bahwa bakteri dan
fungi tadi dimakan
oleh sebagian protozoa
dan avertebrata. Kemudian
protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan
oleh karnivor tingkat tinggi.
4. Detritivor pada Ekosistem Mangrove
Adanya
sistem akar yang
padat, menyebabkan sedimen,
yang mengandung unsur hara, terperangkap. Selain
itu model perakaran ini
juga menyebabkan gerakan air yang minimal pada ekosistem ini. Sehingga
hewan pengurai (detritivor) memiliki
aktivitas tinggi dengan jumlah
yang banyak pada ekosistem ini. Setyawan
dkk (2002) menyatakan bahwa sesendok teh,
lumpur mangrove mengandung lebih
dari 10 juta
bakteri, lebih kaya
dari lumpur manapun. Bakteri
yang dimaksud disini adalah bakteri patogen seperti Shigella, Aeromonas dan
Vibrio dimana bakteri ini
dapat bertahan pada air mangrove walaupun tercemar bahan kimia
berbahaya. Selain itu, terdapat
mikroorganisme lain yang
dapat menguraikan molekul organik
pada ekosistem mangrove.
Mikroorganisme itu adalah fitoplankton dan zooplankton, dengan
penjelasan sebagai berikut :
- fitoplankton
adalah dari kelas Chlophyceae (alga hijau) dan Chrysophyceae (alga hijau
kuning) yang termasuk didalamnya adalah diatom. Nybaken
(1992) menyatakan jenis-jenis tumbuhan laut mikroskopis yang yang
berlimpah diatas dataran berlumpur, adalah diatom. Dari hasil penelitian di ekosistem
mangrove perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat pada bulan Maret 2006 tercatat komposisi marga
fitoplankton di berjumlah 13
marga, yang terdiri
dari 10 marga diatom dan 3 marga dinoflagellata, yang
komposisinya didominasi oleh
marga diatom (Thoha. 2007). Salah satu jenis alga hijau kuning adalah Chyanobacterium. Alga
ini bersifat anoksik dan
juga banyak melimpah di perairan. Romimohtaro dan
Juwana (1999) menyatakan oleh
kelimpahan organisme jenis ini
karena adanya kandungan unsur hara yang berlebih. Dan ini
sangat sesuai dengan kondisi ekosistem mangrove yang kaya unsur hara dan kecendrungan kandungan oksigen
terlarut yang rendah.
- Zooplankton. Fitoplankton dimakan
oleh zooplankton. Nybaken (1992) menyatakan pada estuaria,
sekitar 50-60 % persen produksi bersih fitoplankton dimakan oleh
zooplankton. Pada dasarnya hampir semua fauna akuatik muda yang terdapat
pada ekosistem mangrove,
dikategorikan sebagai
zooplankton, (Setyawan dkk,
2002). Usia muda dari fauna akuatik (larva)
sebagian besar berada di
ekosistem mangrove. Dan larva
dikategorikan sebagai
zooplankton, karena termasuk fauna yang pergerakannya masih
dipengaruhi oleh pergerakan air,
sebagaimana pengertian dari
plankton itu sendiri. Oleh
karena itu juga Thoha (2007) mengkategorikan
Gastropoda, Bivalva, telur
ikan, dan larva ikan kedalam zooplankton. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa zooplankton dari Filum
Protozoa, memakan
bakteri dan fungi
yang terdapat pada ekosistem
mangrove. Lebih spesifik, bahwa Ordo Dinoflagellata dari Kelas Flagellata yang banyak terdapat
pada ekosistem mangrove. Selain itu
taksa zooplankton yang sering dan banyak terdapat pada ekosistem
mangrove adalah Copepoda.
Thoha (2007). menyatakan bahwa
ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan
bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan
larva Decapoda. Oleh
karena itu, terdapat ikan penetap sementara pada
ekosistem mangrove, yang
cenderung hidup bergerombol
dikarenakan kaitannya yang erat dengan adanya mangsa pangan pada ekosistem
itu sendiri.
Biota
yang paling banyak
dijumpai di ekosistem
mangrove adalah crustacea dan
moluska. Kepiting, Uca
sp dan berbagai
spesies Sesarma umumnya
dijumpai di hutan Mangrove. Kepiting-kepiting dari famili
Portunidae juga merupakan biota
yang umum dijumpai.
Kepiting-kepiting yang dapat dikonsumsi (Scylla
serrata), Udang raksasa
air tawar (Macrobrachium rosenbergii) dan udang
laut (Penaeus indicus
, P. Merguiensis,
P. Monodon, Metapenaeus
brevicornis) yang terkenal
termasuk produk mangrove
yang bernilai ekonomis dan
menjadi sumber mata
pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove.
Semua spesies-spesies ini
umumnya mempunyai dasar-dasar
sejarah hidup yang
sama yaitu menetaskan
telurnya di
ekosistem mangrove dan setelah mencapai dewasa melakukan migrasi ke
laut. Ekosistem mangrove juga merupakan tempat memelihara anak- anak ikan.
Migrasi biota ini berbeda-beda
tergantung spesiesnya. Udang
Penaeus dijumpai melimpah jumlahnya hingga
kedalaman 50 meter
sedangkan Metapenaeus paling melimpah dalam kisaran kedalaman 11-30
meter dan Parapenaeopsis terbatas hanya pada zona 5-20 meter. Penaeid bertelur
sepanjang tahun tetapi periode puncaknya adalah selama Mei -Juni dan Oktober-
Desember yang bertepatan dengan datangnya musim hujan atau angin musim. P.
Merquiensis setelah post larva ditemukan pada bulan November dan
Desember dan setelah 3 - 4 bulan berada
di mangrove mencapai juvenile dan pada bulan Maret sampai Juni
juvenil berpindah ke air yang dangkal.
Setelah mencapai dewasa atau lebih besar,
udang akan bergerak
lebih jauh lagi
keluar garis pantai
untuk bertelur dengan kedalaman
melebihi 10 meter. Waktu untuk bertelur dimulai bulan Juni dan berlanjut sampai akhir
Januari.
5. Dampak Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas
manusia dan aktivitas alam. Kerusakan akibat aktivitas alam sangat kecil
kemungkinan terjadinya, seperti badai, topan yang keras dapat merusak ekosistem
mangrove. Sedangkan dampak yang sangat besar terjadi akibat aktivitas manusia
dalam memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumberdaya yang mampu menopang
ekonomi masyarakat pesisir pada umumnya. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan
pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikana,
pelabuhan dll), tekanan bagi ekosistempun meningkat. Tekanan ini berdampak pada
kerusakannya baik secara langsung (penebangan atau konservasi) maupun yang
tidak langsung (pencemaran oleh limbah dari berbagai aktivitas pembangunan). Adapun
berbagai bentuk altivitasnya adalah
(Tabel 1)
Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menjaga
kelestarian ekosistem pesisir dan laut adalah dengan membentuk
kebijakan-kebujakan yang dituangkan dalam berbagai program yang dapat
diimplementasikan pada masyarakat dalam kontes pengelolaan guna pemanfatan yang optimal akan sumbertdaya
pesisir yang berwawasan lingkungan. Dalam hal ini bagaimana memanfaatkan
sumberdaya pesisir dengan baik, arif dan bijaksana dengan memperhatikankan aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan tetap
berada dalam keadaan seimbang. Upaya mengatasi ancaman degradasi melalui
penetapan kawasan konservasi di pesisisr dan laut (Agardy, 1997 dalam
Begen, 2002), hal ini dilakukan guna melindungi ekosistem dan sumberdaya
yang ada sehingga dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan. Upaya ini
juga bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan kualitas
sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi
proses-proses ekologi. Kegiatan tersebut di tetapkan dalam Peraturan
Pemerintah dan Undang-Undang serta peraturan Daerah.
Selain upaya penetapan kawasan konsevasi di dilakukan juga kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove dengan tujuan untuk memperbaiki lahan yang mengalami kerusakan atau penurunan
produksi pohon-pohon bakau sehingga dapat berfungsi kembali sediakalanya. Kegiatan
rehabilitasi ini dilakukan dengan cara menanam kembali pohon bakau (berupa stek
atau biji buah bakau). Emil Salim
berpendapat, bahwa paradigma pembangunan pada abad ke-21 adalah pemikiran bahwa
pembangunan tidak melalui pendekatan holistik seperti pada masa lalu, melainkan
pendekatan dari bawah (bottom up) sehingga maksimal yaitu dengan melibatkan
masyarakat secara langsung dalam pengelolan lingkungan (hutan mangrove) dengan memperhatikan aspek keadilan dan pemberdayaan
masyarakat sipil. Frank and Clive (2001) mengatakan bahwa untuk menghasilkan
hutan mangrove yang produktivitas tinggi dan berkelanjutan harus dibarengi
dengan managemen yang baik. Agar peruntukan lahan hutan mangrove tidak
berdampak negative terhadap perubahan ekosistem pantai dan laut digalakkan
program selang parit. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan dampak kerusakan
hutan mangrove dan hilangnya fungsi ekologis. Kegiatan ini dilakukan dengan
cara tambak yang dibangun pada lahan mangrove tetap memperhatikan kelestarian
hidup mangrove tersebut dengan menanam atau membiarkan mangrove yang ada pada
bagian pematang tambak untuk tetap hidup. Hal menunjukan aktivitas pertambakan diharapkan
tidak mengganggu aktivitas bakau atau sebaliknya, namun saling memberikan kontribusi
yang menguntungkan baik untuk manusia dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Rantai Makanan. Ilmupedia.com.
Anonim.2009. Deskripsi
Hutan Mangrove. Sistem Informasi Ekologi Laut Tropis.webmaster@ipb.ac.id
Bengen, D.G. 2002.
Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogor.
Kimball, J.W. 1987. Biologi.
Jilid.1. Erlangga. Jakarta
Nontji, A. 1993. Laut
Nusantara. Penerbit Djambatan
\ybaken, J.W. 1992.
Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta
Romimohtarto, K dan S.
Juwana, 1999. Biologi Laut.
Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Puslitbang Osenologi-LIPI, Jakarta : 527
hal
Setyawan, A. Susilowati,
A, Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem
Mangrove di Jawa. Petunjuk Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Thoha, H. 2007. Kelimpahan
Plankton Di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat.
Makara. Sains, vol. 11, no. 1. Hal : 44-48
Tomlinson, P. B. 1986. The Botany of
Mangrove. Cambridge University Press, New York .
Noor, R. Y., M. Khazali, N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.
Wetland International Indonesia
Programe. Bogor .
Dahuri, R., 2004. Naskah
Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Pada cara Pencanangan Gerakan
MemasyarakatkanMakan Ikan dan Peresmian Penggunaan Pasar Ikan Higienis
Pejompongan, Jakarta , DKP, Jakarta .
Frank T. and Clive W. 2001. Coral,
Mangrove and Seagrasses
A Sourcebook For Managemers. WWf, ICRI,IUCN,CORDIO AND
AUSTRALIAN INSTITUTE OF MARINE SCIENCE, 193 page
Kartikasari. S.N, 1997, Pedoman Untuk Penilaian Perlindungan
Habitat-Habitat Pesisir Di Indonesia Timur, Proyek Pengembangan Pusat Studi
Lingkungan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Dekdikbud. Jakarta. 74 hal.
No comments:
Post a Comment
Masukan beripa kritik dan Saran ke arah yang membagun