MENATA PESISIR PERLU LEGALITAS

Oleh :

Ardan Saman

(Pemerhati Wilayah Pesisir)

Wilayah pesisr sebagaimana tercantum dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem didarat dan laut;” kearah laut sampai 12 mil sedangkan kearah darat sebatas kecamatan pesisir. supaya pembangunan kawasan pesisir bisa langgeng barkelanjutan; maka perlu ada pemintakatan/zonasi (tepat dalam m,engalokasikan ruang memilih kegiatan sinergis serta pengendaliannya.dengan pemintakatan berarti wilayah pesisir menjadi zona sesuai peruntukannya. kegiatan yang salin mendukung (complatible). dari itu pemintakan harus memperhatikan :

  1. Mempertimbangkan kebijakan ousat dan daerah kepentingan masyarakat dan hak-hak ulayat;
  2. bio-ekoregion karena wilayah pesisir dibentuk oleh sub ekosistem yang saling berkaitan dan
  3. persepsi masysrakat yang hidup disekitar ekosistem, berkaitan dengan konteks histori pemanfaatan sumberdayahayati masa lampau sampai saat ini serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumberdaya.

Penmanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak memenihi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan (sutanible development) secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. untuk mencapai tujuan pengelolaan wilayah pesisr secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan) antar demensi ekologis, demensi social, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). pembangunan wilayah pesisir adalah sebuah proses interaktif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhirnya bukan untuk menyejar pertumbuhan ekonomi (economi growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan professional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelhara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari.

Strategi pengelolaan wilayah pesisir yang dipesisr dan difokuskan untuk menangani isu utama yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan dengan penanganan isu yang lain. pemikiran dasar dalam perumusan strategi pengelolaan ini meliputi kerberlanjutan (sutainablity), perlindungan dan pelestarian, pengembangan, pemerataan, dan komonikasi. dari pemikiran in, dirumuskan strategi pengelolaan yang mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan fisi pengelolaan.

Tujuan pengelolaan adalah mengatasi konflik pemanfaatan ruang wilaah pesisir, sehingga terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun target pengelolaan teratasinya permasalahan turunan darei konflik pemanfaatan ruang, melalui partisipasi masyarakat, dunia usaha dan pemerintah secara terpadu, yang didukung penegakan hokum secara konsisten, yaitu :


1.
Tersusun dan dipatuhinya tata ruang wilayah pesisir,

2. Terkendalinya reklamasi pantai

3. Terkendalinya pencemaran perairan

4. Tertatanya pemukiman kumuh

5. Kembalinya sepadan pantai dan rehabilitasi mangrove dan

6. terkendalinya sedimentasi

Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pesisisr adalah lemahnya koordinasi antar lembanga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan dnas/instasidaerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Perhubungan dan Kepelabuhanan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus dilakukan adalah harus menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.

Disamping kelembagaan pemerintah, peran lembaga legeslatif, masyarakat/LSM serta dunia usaha adalah sangat penting dan harus terlibat daam pengelolaan, utamanya adalah pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan terciptasuatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju kearah pembangunan berkelanjutan.

Alih Fungsi Akibat dan Solusi

Wilayah pesisir ini merupakan kapastas keberlanjutan dari banyaknya ekosistem terancam oleh pola pembanguanan yang unsutainable development (tidak berkelanjutan) akibatnya pencemaran, abrasi degradasi fisik wilayah pesisir, eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam, dan juga konflik penggunaan ruang amaupun sumberdaya. Tetapi yang lebih memprihantinkan lagi sebenarnya adalah alih fungsi akan dibarengi perubahan lingkungan atau ekosistem yang kaya akan sumberdaya hayati. Dampak negatif yang kurang diantisipasi oleh pemangku kebijakan, menjadi kurang menguntungkan untuk generasi mendatang akibat degradasi kondisi lingkungan yang ujung-ujungnya produktifitas sumberdaya hayati menurun. Keadaan seperti ini apa merupakan gejala kepedulian terhadap wilayah pesisir belum membumi dikalangan pemangku kepentingan ? Sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunya legalitas tata ruang yang ditaati semua pihak. Akan tetapi kenyataannya menunjukan bahwasanya yang suda adapun seing ”dilanggar” hanya untuk kepentingan sesaat sehingga yang ada hanya pemanfaatan dan penataan pesisir yang tidak rasional.

Disisi lain, secara empiris ada keterkaitan ekologis; hubungan fungsional antar habitat ekosistem pesisir dengan lahan diatasnya maupun laut lepas. Perubahan yang terjadi pada ekosistem pesisir maka cepat atau lambat mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula hanya dengan pengelolaan lahan diatasnya jika tidak dilakukan secara arif dan berwawasan lingkungan dampak negatifnya akan merusak tatanan ekologis kawasan pesisir. Secara ekologis-ekonomispun pemanfaatan kawasan pesisir secara mno culture single use sangat rentan terhadap perubahan internal dan eksternal yang menjurus kegagalan; karena tidak ada keseimbangan lingkungan.

Salah satu syarat yang secara ekologis menjamin pembangunan berkelanjutan, keharmonisasn spasial (spatial sustainaility); maka didalam suatu wilayah tidak seluruhnya digunakan untuk zona pemanfataan; tetapi harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. keberadaan zona preservasi dan konservasi diseluruh daerah sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan seperti siklus hidrologi dan ketersediaan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sebagai sumber keanekaragaman hayati (biodeversity). sesuai kondisi alamiah zona preservasi maupun zona konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan berkelanjutan sebaiknya antara 30-50% dari luas total. kemudian zona pemanfaatan sebaiknya ditetapkan pada lokasi dengan kondisi fisik yang sesuai sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis; tanpa memganggu keseimbangan lingkungannya.

Seruan Moral Pembangunan

Kini saatnya para pemimpin daerah menunjukan prestasinya mengangkat harkat hidup nelayan dan masyarakat pesisir dengan mewujudkan penataan ruang pesisir yang bertanggung jawab sesuai kaidah hukum di Indonesia maupun internasional seperti tercantum dalam Code of Counduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan kepada anggota legislatif, senyampang pasih ada kesempatan tunjukkan karya mulia bersama para Gubernur, Bupati dan Walikota kawasan pesisir menyusun dan sekaligus mensahkan peraturan daerah tentang tata ruang pesisir demi anak cucu kita.

Sudah cukup doktrin pembangunan ala Orde Baru dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima yang ujung-ujungnya harus dibayar mahal oleh segenap anak bangsa. proyek-proyek pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan fisik ternyata berdampak pada krirsis yang berkepajangan. Tanpa menefikkan prestasi ’Keberhasilan’ dalam mengelola stabilitas politik dan ekonomi yang diraih, kemudian pada akhirnya mewariskan krisis multi demensi yang amat parah. yang lebih parah lagi adalah krisis ekologi lingkungan yang sungguh memprihatinkan.

Segala resiko diatas tidak lain adalah buah dari akbat yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam pengelolaan. Keserakahan segelintir elit yang memiliki otoritas dan power dalam menentukan kebijakan publik, tetapi tidak amanah. Tidak semestinya rakyat dijadikan objek pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam tanpa batas (boundless). Apabila kecenderungan menyimpang semacam ini terus dibiarkan, bukan mustahil hidup seluruh penduduk yang mendiami negeri ini kian bertambah sengsara. Namun sejauh ini tak banyak orang yang mau menyadari bahwa baik krisis sosial maupun ekologis membawa dampak konsekwensi yang besar bagi kelangsungan kehidupan spesies manusia di bumi.

Pendek kata, melihat fenomena bencana alam yang datang bertubi-tubi di negeri kita maka sebagai penyebab bencana tersebut tidak lain karena sikap kita yang gemar memusuhi alam (binatang dan mahluk lainnya). Yakni tidak mau menjaga lingkungan sekitar kita. Padahal, pada satu sisi kita ini hidup sangat tergantung pada alam, akan tetapi disisi yang lain, kita justru tidak memperlakukan alam sebagai subyek. Lingkungan sekitar sebenarnya merupakan satu entitas kehidupan yang sama seperti kita, memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagaimabana di jaminkan Tuhan. Sang Maha Pencipta. Dengan demikian, jika kita termasuk umat beragama maka memusuhi alam sama halnya mengingkari adanya nikmat Tuhan, istila agamanya adalah KUFUR BIN NI’MAH.

No comments:

Post a Comment

Masukan beripa kritik dan Saran ke arah yang membagun