STRATEGI PENGEMBANGAN RISET DAN TEKNOLOGI SUMBERDAYA KELAUTAN

I. PENDAHULUAN
Pengalaman empiris di seluruh dunia telah membuktikan, bahwa kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan suatu bangsa sangat ditentukan oleh penguasaan IPTEK (Ilmu dan Teknologi) bangsa yang bersangkutan. Negara-negara yang saat ini dikenal sebagai negara maju, seperti yang tergabung dalam G7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Kanada, Inggris, dan Italia); negara-negara Skandinavia, Australia, Korea Selatan dan Singapura, adalah mereka yang unggul dalam penguasaan dan penerapan IPTEK pada hampir seluruh bidang kehidupan. Bukti empiris semacam ini juga berlaku dalam kemampuan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya kelautan misalnya sumberdaya perikanan, seperti yang dialami oleh bangsa Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, negara-negara Skandinavia, Kanada, dan Spanyol.

Sebaliknya, meskipun suatu negara memiliki sumberdaya kelautan yang berlimpah, tetapi jika bangsa tersebut mengabaikan IPTEK dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya tersebut, tidak ada artinya. Karena kontribusi sumberdaya tersebut terhadap pembangunan bangsa dan masyarakat relatif kecil. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia masih banyak menghadapi berbagai kendala dan permasalahan. Kinerja pembangunan kelautan selama ini belum banyak memberikan kontribusi terhadap GDP (Gross Domestic Product) dan masih menyisakan masyarakat termiskin di negara yang memiliki potensi kelautan yang besar. Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah ketidak mampuan masyarakat dan bangsa Indonesia memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, dan bila ditelusuri lebih lanjut karena penguasaan IPTEK dan informasi kelautan masih sangat lemah.

Oleh karena itu, sangat tepat dan strategis jika pemerintah mulai sekarang memantapkan strategi pengembangan riset dan teknologi sumberdaya kelautan. Hal ini mengingat Eksistensi Indonesia sebagai negara Maritim dan kepulauan (Archipelagic state) terbesar di dunia dengan luas laut 5,8 juta km2 dan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 km, pada dasarnya menjanjikan potensi pembangunan ekonomi dari sektor kelautan yang luar biasa. Pada tanggal 11 Oktober 2003 lalu, Presiden Megawati mencanangkan Gerakan Nasional yang disebut Gerakan Pembangunan Mina Bahari, gerakan ini merupakan pemikiran yang ingin menjadikan laut sebagai sumber perekonomian bangsa dan negara yang berkesinambungan.

II. POTENSI DAN PELUANG PEMBANGUNAN KELAUTAN

Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia, karakteristik geografis Indonesia serta struktur dan tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan Indonesia sebagai Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang amat potensial dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Sumberdaya kelautan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu (1) sumberdaya dapat pulih, (2) sumberdaya tidak dapat pulih, (3) sumber energi, dan (4) jasa-jasa lingkungan kelautan.

(1) Sumberdaya Dapat Pulih

Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan bioteknologi kelautan. Dengan luas laut 5,8 juta km2, perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,4 juta ton pertahun. Potensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil 3,6 juta ton, ikan demersal 1,36 juta ton, ikan karang 145 ribu ton, udang peneid 94,8 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton (Dahuri, 2003).

Selain potensi perikanan tangkap, Indonesia memiliki potensi perikanan budidaya yang cukup besar. Berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha yang terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain: ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara, abalone, dan rumput laut. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya laut (marikultur) mencapai produksi sebesar 994,962 ton dengan nilai sebesar Rp 1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen (Statistik Budidaya Perikanan, 2001).

Indonesia juga memiliki potensi pengembangan budidaya tambak yang cukup besar. Lahan utama yang potensial bagi pengembangan budidaya tambak terletak di daerah hutan bakau. Ditjen Perikanan (1999) memperkirakan potensi lahan pengembangan tambak di Indonesia mencapai 913.000 ha, sedangkan tingkat pemanfaatannya baru mencapai 344.759 ha atau sekitar 40 persen dari total potensinya. Komoditas-komoditas potensial yang dapat dibudidayakan adalah: udang windu, udang putih, udang api-api, udang cendana, ikan bandeng, baronang, belanak, dan ikan nila. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya tambak baru mencapai produksi sebesar 430.017 ton atau sekitar 24 persen dari potensi lahan yang tersedia, apabila setiap 1 ha lahan menghasilkan produksi 2 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 7,46 triliun (Statistik Budidaya Perikanan, 2001).

Bioteknologi kelautan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang besar bagi pembangunan bangsa Indonesia. Berbagai bahan bioaktif yang terkandung dalam biota perairan laut seperti Omega-3, hormon, protein dan vitamin memiliki potensi yang sangat besar bagi penyediaan bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Diperkirakan lebih dari 35.000 spesies biota laut memiliki potensi sebagai penghasil bahan obat-obatan, sementara yang dimanfaatkan baru 5.000
spesies. Beberapa jenis obat atau vitamin yang diekstrak dari laut misalnya, minyak dari hati ikan sebagai sumber vitamin A dan D, insulin diekstrak dari ikan paus dan tuna, sedangkan obat cacing dapat dihasilkan dari alga merah.

(2) Sumberdaya Tidak Dapat Pulih


Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Indonesia sebagai negara maritim memiliki kandungan minyak dan gas bumi yang besar, berdasarkan data geologi, diketahui bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 cekungan berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir) dan hanya 6 cekungan yang berada di daratan. Dari 60 cekungan tersebut diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 milyar berel minyak, namun baru 9,8 milyar barel yang diketahui dengan pasti, sedangkan sisanya sebesar 74,68 milyar barel berupa kekayaan yang belum dimanfaatkan.
Meskipun cadangan minyak dan gas bumi Indonesia cukup besar, namun cadangan ini tersebar pada lokasi yang cukup jauh dari pusat konsumen dan jaringan pipa gas. Pada tahun 2005 diperkirakan Indonesia menjadi “net importer” untuk minyak bumi. Oleh karena itu intensifikasi kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi ladang-ladang minyak, penambangan sumber minyak, serta penguasaan teknologi penambangan di lepas pantai perlu segera ditingkatkan.


(3) Energi Kelautan


Energi Kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumberdaya kelautan non hayati yang dapat diperbaharui yang memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan sumberdaya ini dimasa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas.
Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena OTEC didasari pada perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada kedalaman 1 km minimal 20c,C. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilotplant OTECdikembangkan di pantai utara Pulau Bali.
Sumber energi kelautan lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, D. I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter.
(4) Jasa Kelautan
Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan pariwisata dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.
Pada tahun 2002 pariwisata bahari menyumbang US$ 4,5 milyar atau menurun 16,5 persen dari tahun 2001 yang mencapai US$ 5,428 milyar (Media Indonesia, 2002). Penurunan ini disebabkan oleh kondisi stabilitas nasional Indonesia terutama setelah ledakan bom di bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang lalu. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan bagi perkembangan dunia pariwisata pada khususnya, perekonomian Indonesia pada umumnya. Untuk membangkitkan kembali dunia pariwisata, perlu upaya serius dari setiap elemen masyarakat Indonesia untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga memberikan kenyamanan dan
ketenangan di seluruh kawasan Indonesia. Selain itu perlu memperhatikan kekhasan, nilai jual dan peningkatan mutu komoditi pariwisata, sehingga dapat menarik masyarakat internasional untuk berkunjung ke Indonesia.
Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing. Berdasarkan data yang ada, hampir 80 persen proses perpindahan barang dan jasa antar pulau
menggunakan jasa perhubungan laut.
III. SASARAN RISTEK KELAUTAN


Pengembangan RISTEK ( Riset dan Teknologi) Kelautan diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Oleh karena itu dukungan RISTEK harus diarahkan pada :
  1. Penguasaan, pengembangan dan penerapan RISTEK yang dibutuhkan dalam
    rangka optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di
    perairan Indonesia termasuk potensi dan karakteristik sumberdaya perikanan,
    rehabilitasi habitat ikan yang sudah rusak.
  2. Penguasaan dan penerapan teknologi penangkapan ikan seperti bahan dan
    peralatan yang produktif dan efisien serta berwawasan lingkungan bagi
    pengembangan perikanan rakyat.
  3. Penguasaan dan pengembangan serta penerapan RISTEK budidaya laut
    termasuk sea ranching, baik untuk sumberdaya ikan yang sudah dapat
    dibudidayakan maupun yang belum.
  4. Penguasaan dan pengembangan serta penerapan bioteknologi untuk budidaya,
    pengelolaan lingkungan pesisir, maupun untuk pertambangan, termasuk teknik
    ekstraksi bioactive substances atau marine natural product untuk industri
    pangan, obat-obatan dan kosmetika.
  5. Penguasaan dan pengembangan dan penerapan RISTEK prapanen dan
    pascapanen untuk mewujudkan industri pengolahan ikan yang mampu
    meningkatkan nilai tambah dan kualitas produk kelautan.
  6. Penguasaan dan pengembangan teknik dan manajemen pemasaran produk
    perikanan yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan posisi tawar di
    pasar dalam negeri dan luar negeri.
  7. Penguasaan dan pengembangan serta penerapan teknologi eksplorasi dan
    eksploitasi sumberdaya alam tidak dapat pulih (pertambangan), serta
    berwawasan lingkungan.
  8. Penguasaan dan pengembangan serta penerapan teknologi pendayagunaan
    potensi sumberdaya energi non konvensional seperti OTEC, energi kinetik dari
    pasang surut dan gelombang laut yang berwawasan lingkungan.
  9. Penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pengelolaan limbah di
    kawasan pesisir dan lautan serta pengendaliannya.




IV. PENENTUAN AGENDA PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN
PENGEMBANGAN RISTEK KELAUTAN





Pembangunan sumberdaya kelautan harus didukung oleh kegaitan RISTEK (Riset dan Teknolgi) dan pengembangan kelautan. Kebijakan RISTEK hendaknya diarahkan untuk penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. RISTEK seharusnya mencakup empat bidang, yaitu bidang Ilmu Pengetahuan Dasar, bidang Ilmu Pengetahuan Terapan, Sektor Teknologi, dan bidang Teknik Produksi.

Secara konseptual RISTEK kelautan diharapkan dapat diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat dipasarkan (marketable) dan menguntungkan (profitable), meningkatkan produksi melalui pemanfaatan sumberdaya kelautan, baik sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tidak dapat pulih maupun jasa-jasa kelautan untuk menunjang pembangunan ekonomi, meningkatkan pengkajian potensi sumberdaya kelautan, khususnya sumberdaya kelautan yang belum termanfaatkan secara optimal.

Dalam konteks pengembangan RISTEK kelautan untuk pengembangan masyarakat pesisir, sebagai salah satu tujuan dari pembangunan nasional, maka ada dua prasyarat utama yang harus dipenuhi, yaitu,peftaina, jenis RISTEK apapun yang hendak dikembangkan, hendaklah yang berwawasan lingkungan. Prasyarat ini penting sehubungan dengan era globalisasi dan perdagangan bebas (AFTA, APEC, dan WTO), dimana setiap jenis produk kelautan yang dihasilkan harus memiliki daya saing yang tinggi baik pada pasar dalam negeri maupun pasar dunia. Selain itu, kita juga harus dapat mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 9002), isu propertyright, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.

Persyaratan kedua, adalah masyarakat pesisir sebagai pengguna RISTEK kelautan hendaknya diberikan keleluasaan akses untuk memanfaatkan RISTEK tersebut. Selama ini, masyarakat pesisir masih memiliki kelemahan terhadap (a) proses perencanaan dan pengambilan keputusan; (b) akses terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan; (c) akses terhadap penguasaan dan pemanfaatan RISTEK serta pengelolaan sumberdaya, (d) akses distribusi dan pemasaran produksi; dan (e) akses data dan sistem informasi kelautan.

Pengembangan RISTEK kelautan dalam bidang perikanan (perikanan tangkap dan budidaya) seyogyanya dilakukan pada seluruh mata rantai (sub sistem atau komponen) sistem usaha atau agribisnis perikanan (Gambar 1). Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, bahwa sistem usaha perikanan terdiri dari empat sub-sistem utama: (1) sumberdaya ikan dan habitatnya, (2) produksi baik melalui penangkapan maupun budidaya ikan, (3) pengolahan, (4) pemasaran dan konsumen; dan empat sub-sistem pendukung yaitu: (1) keuangan, (2) sarana dan prasarana, (3) SDM dan IPTEK, (4) hukum dan kelembagaan, yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan perikanan sesuai cita-cita di atas hanya dapat diwujudkan melalui perencanaan dan pelaksanaan pembangunan usaha perikanan secara holistik dan terpadu menurut pendekatan sistem agribisnis. Berdasarkan pada sistem usaha perikanan dan tujuan pembangunan perikanan nasional maka pengembangan RISTEK Kelautan khususnya dalam bidang perikanan seperti pada Lampiran 1.




No comments:

Post a Comment

Masukan beripa kritik dan Saran ke arah yang membagun