Sebagai negara berkembang yang memiliki garis
pantai sepanjang kurang lebih 81 .000 km merupakan nomor 2 terpanjang di dunia.
Indonesia
sangat potensial untuk rnengembangkan hasil dan sumberdaya yang ada di lautan
mulai dan usaha budidaya laut hingga pertambangan di dasar laut, yang semuany
ini dapat meningkatkan perekonomian
negara maupun masyarakat khususnya masyarakat pantai. Maka kesadaran akan pentingnya pelestarian sumberdaya
merupakan faktor pendorong untuk tetap menjaga kualitas. Banyaknya aktivitas di
laut maupun di daratan yang meinpunyai akibat langsung maupun tidak langsung
serta conflict of interest” dalam penggunaan lahan sumberdaya akan mempengaruhi
kualitas lautan. Limbah yang dihasilkan dan suatu aktivitas merupakan
permasalahan penting yang perlu diwaspadai dan diantisipasi pengelolaannya
sejak awal, bila terlambat akan berakibat fatal terhadap kelestarian sumberdaya
laut dan hayati perairan sekitarnya. Informasi mengenai jenis dan jumlah limbah
yang dihasilkan dan suatu kegiatan di laut dan sekitarnya sangat penting, hal
mi untuk menghindani atau mengurangi terjadinya dampak negatif yang akan
ditimbulkan pada ekosistem perairan laut.
Tujuan
pengelolaan laut adalah untuk mengembalikan fungsi atau keadaan laut sesuai
atau mendekati keadaan kualitas awal sebelum adanya pencemaran atau gangguan
dengan mengacu kepada parameter-parameter yang ditunjukan oleh standar baku
mutu Iingkungan perairan laut. Hal mi dilakukan agar pemanfaatan lautan dapat
berkelanjuta
Sumber dan Jenis Pencemaran Laut
Keadaan
pencemaran lingkungkungan laut bersumber dan kegiatan di darat dan kegiatan di
laut. Jenis-jenis dan sumber limbah yang masuk ke lautan berasal dan kcgiatan
manusia hingga kejadian-kejadian alam, adapun pencermaran tersebut adalah :
Pencemaran yang bersumber dari daratan:
·
Kegiatan industri berupa lirnbah yang mengalir
melalui sungai dan pada akhirnya ke Laut.
·
Pertanian, akibat dan penggunaan bermacam-macam
pestisida dan kegiatan pembukaan lahan
yang mcngakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai.
·
Pernukiman, berupa limbah rumah tangga baik
padat maupun cair.
1. Pencemaran yang bersumber dan laut.
·
Kegiatan
pelayaran. adanya kebocoran bahan bakar minyak dan instalasi mesin. Tangki dan
kegiatan lain dikapal.
·
Kegiatan
penambangan minyak lepas pantai yang berupa lumpur bekas pengeboran. Minyak endapan dan poduk lain saat
eksplorasi dll.
MASALAH PENCEMARAN LAUT
Masih terdapat banyaknya hambatan baik
dalam sistem pencegahan dan penanggulangan masalah pencemaran lautan. Dalam sistem pencegahan misalnya masih
hanyak pernilik kapal dan awak kapal yang belum menyadari akan pentingnya
pencegahan pencemaran laut, belum semua kapal melengkapi peralatan pencegahan
pencemaran laut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan. Fasilitas pengelolaan limbah industri di darat
yang kurang memadai, menyebabkan limbah dibuang ke sungai melebihi ambang baku
mutu yang telah ditetapkan.
Kurangnya
kontrol dan pemerintah yang disebabkan terbatasnya biaya dan kiasifikasi
sumberdaya manusia. Penegakan hukum yang juga rendah serta masih kurangnya
kesadaran bagi masyarakat terhadap pentingnya lingkungan yang baik.
KUALITAS LAUT
Banyak
faktor menentukan kualitas dan suatu lautan selain parameter-parameter fisik,
kimia dan biologi laut itu sendiri. Penurunan kualitas laut tidak hanya
ditentukan dan limbah kimia yang berakibat secara langsung, kualitas laut juga
ditentukan olch kualitas atau keadaan perairan pantai, karena lautan merupakan
satu kesatuan dan permukaan, kolom air sampai ke dasar laut yang di dalamnya
terdapat komunitaskomunitas ekosistem seperti:
·
Ekosistem Terumbu karang
·
Ekosistem
Hutan Mangrove
·
Ekosistem
Padang Lamun
·
Ekosistem
Estuaria
Keadaan dan ekosistem yang ada mi sangat
mempengaruhi kualitas air dan lautan di sekitarnya, jadi pemanfaatan,
pengelolaan ataupun kegiatan yang menyangkut ekosistem tidak dapat dipisahkan
dalam menentukan pengelolaan kualitas lautan.
PENURUNAN
KUALITAS LAUT
Akibat dan masuknya zat-zat kimia ataupun tumpahan-tumpahan minyak di perairan
laut akan mempengaruhi biota-biota laut. baik meracuni secara Iangsung. menekan
kehidupan organisrnc maupun rncrusak gen organisme. Seperti komunitas moplankton dipakai scbagai indikator
biologis kualitas air law. (selain haktcri dan bentos). fitoplanklon mernegang
peranan yang sangat penhing dalam transfer energi dan rantai makanan (fhod
chain) yang berlangsung di ekosistern pcrairan. maka dengan rnatinya mikro
organisme mi akan berakibat terhadap kehidupan organisme laut lainnya.
Penurunan kualitas laut yang diakibatkan partikel tcrsuspcnsi yang dihawa olch
aliran sungai maupun kegiatan rekiamasi pantai dan adanya proses sedimcntasi
serta abrasi pada daerah pantai yang berakibat dangkalnya perairan.
merupakan
tempat arus dan gelombang laut pecah sehingga menyebabkan pergolakan arus yang
dapat menimbulkan kekeruhan. Kejadian tersebut mempengaruhi tingkat kecerahan
yang herakibat terhalangnya sinar matahari yang masuk ke dalam perairan. pada
akhirnya akan hcrpcngaruh pada kegiatan fotositesa tumbuhan laut dan bcrpcngaruh
terhadap jumlah oksigcn terlarut pada pcrairan tersebut. Kadar oksigen tcrscbut
sangat pcnting bagi pcrnafasan ikan dan udang serta merupakan salah satu
komponen utama untuk keperluan mctabolisme organisme perairan.
PENGELOLAAN LAUT
Dalam upaya
mengelola kualitas laut tidak dapat dilakukan hannya dilautan itu sendiri.
tetapi menyangkut segala aspek pada ekosistem yang dapat mempengaruhi kualitas
laut tersebut. Untuk itu perlu dilakukan suatu pengelolaan yang terpadu mulai dan
daerah daratan pesisir hingga kedalaman laut lepas. Disamping itu laut
mempunyai kemampuan yang besar untuk memurnikan dirinya ( selfpurification ), sehingga segala sesuatu yang terjadi di
dalam air laut dapat berubah dalam waktu yang begitu singkat.
Untuk menilai kualitas laut dipergunakan Baku Mutu sesuai acuan Menleri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep-02 I Men KLH / I I 1988. tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Maka perlu diketahui beberapa parameter
penting mutu laut yang berupa fisik, kimia, dan biologi diantaranya:
Untuk menilai kualitas laut dipergunakan Baku Mutu sesuai acuan Menleri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep-02 I Men KLH / I I 1988. tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Maka perlu diketahui beberapa parameter
penting mutu laut yang berupa fisik, kimia, dan biologi diantaranya:
1. Parameter Fisik
- Suhu
- Kecerahan
- Bau
2. Parameter Kimia
- Kadar Nitrogen
- Kadar fosfat
- Kadar Iogam
- Oksigen terlarut
- Salinitas
- Derajat keasaman ( pH)
- Kebutuhan oksigen (BOD)
3. Parameter Biologi
- Mikro Organisme
- Tumbuhan laut
MANAJEMEN LAUT
Untuk
menjalankan upaya pengelolaan laut diperlukan suatu perencanaan, kebijakan.dan
aturan yang ditata dengan suatu manajemen pengelolaan kegiatan-kcgiatan yang
terpadu
dan wilayah pesisir hingga Iautan Dengan mengembangkan elemen-elemen dan sistem manajernen pengelolaan yang berupa:
dan wilayah pesisir hingga Iautan Dengan mengembangkan elemen-elemen dan sistem manajernen pengelolaan yang berupa:
·
Urgensi dan manfaat pengelolaan
·
Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan
·
Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan
·
Proses perencanaan dan pengelolaan
·
Elemen
dan struktur pengelolaan
·
Penerapan
perundang-undangan dan peraturan.
Untuk mendukung perierapan elemen-elemen
tersebut diperlukan kebijaksanaan kebijaksanaan instansi, lembaga terkait dalam
pelaksanaan kegiatan untuk pengendalian
dan pencegahan pencemaran seperti :
dan pencegahan pencemaran seperti :
1.
Peraturan-peraturan Peraturan merupakan salah satu
unsur utama dalam rangka mcnccgah Iingkungan dan Bahaya pencemaran yang
diakibatkan oleh berbagai kegiatan . Peraturan ini dapat eliputi lingkup
nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat I.
2.
Penanggulangan pencemaran dari daratan Agar masalah
pencemaran dapat dikendalikan dibuat program-prgram penenda1ian Pencemaran
terutama yang berasal dan daratan seperti :
a.
Program Pencegahan
·
Program
inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam dan lingkungan
·
Program
konservasi hutan, tanah dan air untuk mengamankan fungsi konservasi
Sumberdaya alam dan lingkungan baik secara
biologi maupun non biologi.
·
Program
penyuluhan akan pentingnya wilayah pantai
·
Program
pengendalian pencemaran lingkungan dengan tujuan menghindari.
Mengurangi dan mengendalikan pencemaran
akibat kegiatan pembangunan
·
Program rehabilitasi lahan kritis.
b. Program Pemantauan
PROKASIR
yang meliputi pemantauan terhadap limbah cair dan bcrbagai industri, Serta
pemantaun terhadap kualitas perairan sungai dimana limbah industri tersebut di buang.
c. Fasilitas Pengelolaan limbah
Dalam
upaya menurunkan beban limbah, setiap industri merithuat unit pengelilaan limbah
terutama untuk industri berskala besar dan sedang.
d.
Penegakan
hukum
Penegakan
hukum terhadap penanggulangan bahan pencernar pcrlu dilakukan terhadap para
pengusaha, masyarakat untuk tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
3.
Program
penanggulangan pencemaran dan laut
Walaupun terdapat beberapa sumber penyebab pencemaran. minyak merupakan sumber yang paling potensial. Pencegahan pencemaran minvak dan laut tclah diatur dalam berbagai peraturan, baik yang disebabkan karena kegiatan operasional amaupun pencemaran akibat kecelakaan kapal. Adapun pencegahan minyak dan kegiatan pelayaran adalah:
Walaupun terdapat beberapa sumber penyebab pencemaran. minyak merupakan sumber yang paling potensial. Pencegahan pencemaran minvak dan laut tclah diatur dalam berbagai peraturan, baik yang disebabkan karena kegiatan operasional amaupun pencemaran akibat kecelakaan kapal. Adapun pencegahan minyak dan kegiatan pelayaran adalah:
a.
Pencegahari pencemaran minyak dan kegiatan
operasional
b. Pengendalian tumpahan minyak selama kapal
berlayar
c. Pengendalian tumpahan minyak akibat
kecelakaan kapal.
d.
Penyediaan fasilitas untuk keselamatan pelayaran
4.
Penegakan hukum Menurut peraturan pernerintah no.
4/1982. pelanggaran karena sengaja membuat Pencemaran diberikan sangsi pidana
selama 10 tahun atau denda Rp. 100.
5.
Ganti rugi pencemaran laut Mengingat bahwa pemulihan
atau keruasakan terdapa sumberdaya hayti. laut dan Pantai yang tercemar memerlukan dana yang
besar dan waktu yang lama.
6.
Penyediaan dana dan sumber daya manusia yang mcmpunyai
klasifikasi yang Memadai.
7. Peningkatan kepedulian masyarakat
·
Meningkatkan
pemahaman tentang pentingnya sumberdaya hayati laut, melalui bahan informasi.
·
Meningkatkan
rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat.
·
Mendukung
LSM untuk menyelenggarakan pendidikan kelautan bagi masyarakat.
8. Perencanaan dan proses AMDAL Penataan
ruang untuk setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan
9. Perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi
Diperlukan peningkatan dan penerapán ilmu penegtahuan dan teknologi dalam Pengolahan
dan pengendalian kualitas lautan
UPAYA PENGOLAHAN KUALITAS SUMBER
DAYA LAUT SECARA OPTIMAL
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan
merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth Summit) yang
diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global
tersebut, pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan
dengan memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Pengelolaan sumberdaya laut perlu
diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan potensi untuk meningkatkan
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku
pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya
kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.
KETERPADUAN
Sifat keterpaduan dalam
pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan
perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan
visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan
dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas
sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan
keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan regional,
diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom
up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang
bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebihmantap.
Keterpaduan dalam
pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral yang
mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya
kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara
pemerintahan antarlevel dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3)
keterpaduanspasial yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah
pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang
menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan
pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan
adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih
negara, seperti dalam konteks Transboundary species, high migratory species
maupun efek polusi antar ekosistem.
DESENTRALISASI PENGELOLAAN
Dari 400-an lebih
kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan
mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di negara kita dapat
ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan sehingga segala upaya
dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal.
Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan
daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat
luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab dalam urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan yang
lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan dan penentuan
kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak sentralistis di
pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke
daerahdaerah.Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir. Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi atau
PENGOLHAN BERBASIS MASYARAKAT
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks
sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local
organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local
menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke
desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan
sumberdaya kelautan. Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community
based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi
semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan tujuan pengelolaan
sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama
sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga
tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.
ISU
GLOBAL
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada
tantangan internasional sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas,
mulai dari AFTA (pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik).
Seiring dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis
internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok
perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff barier,
dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri, dan (5)
perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.
Terdapat dua aspek
globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek
ekologi dan ekonomi. Secara ekologi,
terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
(fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible
Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek
pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara
dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di
tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries
Management Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang
mengatur penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee
on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on
Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1)
praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak
dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3)
praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan
global.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenaga kerja.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenaga kerja.
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
PELINDUNGAN LAUT
Daerah Perlindungan Laut (DPL)
atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai
habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik
sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hukum yang
bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau
rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan ini dilindungi
secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan
penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam).
Daerah Perlindungan Laut
merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang
ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang
bersifat ekstraktif. Urgensi keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut,
seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut
lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi
perikanan.
Dengan demikian DPL diyakini
sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem
pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya
ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat
setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan
yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui
kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan pada masyarakat dalam
perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Selain itu berbagai masalah
lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Lampung seperti; pencemaran
lingkungan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, pengambilan terumbu
karang, atau berbagai bentuk degradasi habitat pesisir lainnya memerlukan
tindakan-tindakan yang pemulihan dan pencegahan agar tidak berdampak pada
menurunnya produksi perikanan secara langsung atau tidak langsung serta menjaga
kelangsungan sumber daya perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
Sementara itu, program
pengelolaan pesisir tingkat pusat maupun lokal harus mencakup mekanisme yang
menjamin adanya keikutsertaan masyarakat secara tepat dan efektif dalam
pengambilan keputusan pengelolaan pesisir, sehingga kerjasama pengelolaan
sumberdaya pesisir dapat tercapai secara efektif. Dengan demikian,
sebagai suatu bagian dari langkah-langkah pengelolaan dan perlindungan sumber
daya laut, pengembangan dan pengelolaan DPL sebaiknya disesuaikan dengan
potensi sumber daya lokal dan ramah lingkungan dengan “konsep pemberdayaan
masyarakat”. Keterlibatan aktif masyarakat secara luas merupakan inti
penting dalam sistem pengelolaan dalam sumber daya laut. Untuk itu, masyarakat
yang kehidupannya tergantung dengan sumber daya ini perlu diberdayakan baik
pada level perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS
MASYARAKAT
Pengelolaan sumberdaya
kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang
dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara
ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya
kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia , selain karena efeknya yang positif
juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang
kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi
kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya.
Ini seiring trend di
dunia bahwa yang sedang giat-giatnya mengupayakan penguatan institusi lokal
dalam pengelolaan laut (pesisir). Ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak
semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan
memperhatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya
institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya,
aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi
pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung
pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya
ekonomi pesisir.
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu
upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam
memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Secara teoritik pemberdayaan (empowerment) dapat diartikan sebagai upaya untuk
menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan kepada
masyarakat agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak untuk memperbaiki
kualitas hidupnya salah satu cara untuk memperbaiki kualitas hidupnya
diantaranya adalah melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan lahan pesisir. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung
program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan
pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan
program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Johan
Iskandar, 2001).
Dalam pengertian ini, pemberdayaan masyarakat akan
berkenaan dengan peran aktif mereka, baik dalam perumusan hukum atau kebijakan
maupun dalam pelaksanaannya. Perencanaan yang tidak melibatkan peran
serta masyarakat tentunya akan menimbulkan kendala dalam pelaksanaannya
mengingat keberlakuan suatu aturan atau kebijakan tidaklah mungkin dapat
diterapkan tanpa adanya peran serta masyarakat yang memang berkeinginan untuk
melaksanakan apa yang menjadi isi dan makna pengaturan itu sendiri. Hal ini
penting, hukum pada prinsipnya berisikan hal-hal yang berintikan kebaikan. Oleh
sebab itu, isi atau substansi hukum yang tidak berisikan nilai-nilai kebaikan
dalam masyarakat tentunya tidak akan berlaku efektif dalam masyarakat tersebut.
Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas
ini bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak dahulu,
komunitas lokal di Indonesia memiliki suatu mekanisme dan aturan yang melembaga
sebagai aturan yang hidup di masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam
termasuk di dalamnya sumberdaya kelautan. Hukum tidak tertulis ini tidak saja
mengatur mengenai aspek ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya kelautan, namun
juga mencakup aspek pelestarian lingkungan dan penyelesaian sengketa (Weinstock
1983; Dove 1986, 1990, 1993; Ellen 1985; Thorburn 2000).
Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam
pengembangan dan pengelolaan DPL merupakan langkah strategis dan tepat, selain
karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau
kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan
personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal DPL berbasis masyarakat
sekaligus menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya
laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang
akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah,
tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk
mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Propinsi
Lampung, upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan
pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.
Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
dan pengembangan DPL ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini.
Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat
menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan
pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif. Menurut UU No. 32/2004,
Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah
berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma
baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat
setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut. Otonomi
daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan
sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif.
PERANGKAT
HUKUM
Konsep pengembangan dan
pengelolaan DPL berbasis masyarakat ini tentu saja memerlukan perangkat hukum
untuk menjamin kepastian dan kesinambungan pelaksanaannya. Dalam hal ini
perlu dirumuskan suatu bentuk produk hukum apakah yang paling tepat untuk
pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat. UU 32/2004
memberikan satu jawaban mengenai bentuk produk hukum yang paling tepat untuk memfasilitasi
pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat yaitu melalui Peraturan
Desa. Peraturan Desa dalam hal ini dianggap paling tepat sebagai produk hukum
yang mewadahi pengelolaan dan pengembangan DPL dengan mengacu pada lingkup
teritorial desa dimana DPL berada. Hal ini diperkuat dengan Pasal 13 UU
No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Desa mencakup
seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa serta penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam proses pembentukannya,
Peraturan Desa yang mengatur tentang DPL berbasis masyarakat membutuhkan
partisipasi masyarakat agar hasil akhir dari Peraturan Desa dapat memenuhi
aspek keberlakuan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukannya.
Partisipasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa masukan dan sumbang pikiran
dalam perumusan substansi pengaturan Peraturan Desa.
Selain itu, partisipasi
masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan DPL dapat difasilitasi dalam
suatu bentuk lembaga kemasyarakatan yang khusus melakukan tugas dan fungsi
pengembangan dan pengelolaan DPL dalam suatu bentuk Peraturan Desa. Hal
ini sejalan dengan Pasal 211 UU No. 32 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa:
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang
ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
Penetapan DPL berbasis masyarakat dengan peraturan
desa, agar DPL memiliki dasar hukum yang jelas dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat, sehingga masyarakat dapat turut serta melakukan pengawasan dan
melakukan larangan-larangan terhadap aktivitas pemanfaatan sumber daya laut
dengan dasar yang jelas.
Demikianlah pada akhirnya
diharapkan penetapan DPL berbasis masyarakat dapat difasilitasi dalam suatu
bentuk Peraturan Desa yang pembentukan implementasinya akan melibatkan
partisipasi masyarakat desa secara aktif. Dengan demikian dapat
diharapkan DPL dapat mencapai tujuan dan arti pentingnya sebagai penyangga laut
dan masyarakat sekitarnya
DAFTAR PUSTAKA
Baker, I. And P. Kaeoniam (Eds) 1986. Manual
of Coastal Development Planning and Management for Thailand Unesco. Jakarta.
Beatley, T, D. J.
Browner and A.K. Schuab. 1994. an Introduction to Coastal Zones Management.
Island Press, Washington, D.C.
Anonimous. 1990.
Strategi Nasional Pengelolaan Pengelolaan Wilayah Pcsisr dan lautan. Temu
Wicara Kelautan Juni 1990.
Broedie, J. 1995.
Water Quality an Pollution Control. In Kenji l-lotta an Ian Dutton (Ed) Coastal
Management in the Asia Pacific: Isue and Approaches. Japan International Marine
Science and Technology Federation. Tokyo.
Dove, M. (1986)
“The practical reason for weeds in Indonesia: peasant vs. state views of
Im-perata and Chromolaena,” Human Ecology 14(2): 163-90.
–, ed. (1990) The
real and imagined role of culture in development: case studies from Indonesia .
Honolulu: University of Hawaii Press.
(1993) “Smallholder
rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the
ecology and economy of the tropical rainforest,” Economic Botany 47(2): 136-47.
Ellen, R.F.
(1985) Patterns of indigenous timber extraction from Moluccan rain forest
fringes. Journal of Biogeography (12): 559-87.
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.
Indonesia.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahuan 2004 Nomor
Iskandar, Johan,
2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove, Makalah
disampaikan dalam Pelatihan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hutan
Mangrove, 29-30 Agustus, Lampung.
Thorburn, C.C.
(2000) “Changing customary marine resource management practice and
institutions: the case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia,” World
Development 28(8): 1461-148