PENGELOLAAN KUALITAS LAUT


Sebagai negara berkembang yang memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 81 .000 km merupakan nomor 2 terpanjang di dunia. Indonesia sangat potensial untuk rnengembangkan hasil dan sumberdaya yang ada di lautan mulai dan usaha budidaya laut hingga pertambangan di dasar laut, yang semuany ini  dapat meningkatkan perekonomian negara maupun masyarakat khususnya masyarakat pantai. Maka kesadaran akan pentingnya pelestarian sumberdaya merupakan faktor pendorong untuk tetap menjaga kualitas. Banyaknya aktivitas di laut maupun di daratan yang meinpunyai akibat langsung maupun tidak langsung serta conflict of interest” dalam penggunaan lahan sumberdaya akan mempengaruhi kualitas lautan. Limbah yang dihasilkan dan suatu aktivitas merupakan permasalahan penting yang perlu diwaspadai dan diantisipasi pengelolaannya sejak awal, bila terlambat akan berakibat fatal terhadap kelestarian sumberdaya laut dan hayati perairan sekitarnya. Informasi mengenai jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan dan suatu kegiatan di laut dan sekitarnya sangat penting, hal mi untuk menghindani atau mengurangi terjadinya dampak negatif yang akan ditimbulkan pada ekosistem perairan laut.
Tujuan pengelolaan laut adalah untuk mengembalikan fungsi atau keadaan laut sesuai atau mendekati keadaan kualitas awal sebelum adanya pencemaran atau gangguan dengan mengacu kepada parameter-parameter yang ditunjukan oleh standar baku mutu Iingkungan perairan laut. Hal mi dilakukan agar pemanfaatan lautan dapat berkelanjuta


Sumber dan Jenis Pencemaran Laut


Keadaan pencemaran lingkungkungan laut bersumber dan kegiatan di darat dan kegiatan di laut. Jenis-jenis dan sumber limbah yang masuk ke lautan berasal dan kcgiatan manusia hingga kejadian-kejadian alam, adapun pencermaran tersebut adalah :

Pencemaran yang bersumber dari daratan:
·        Kegiatan industri berupa lirnbah yang mengalir melalui sungai dan pada akhirnya ke Laut.
·        Pertanian, akibat dan penggunaan bermacam-macam pestisida dan kegiatan   pembukaan lahan yang mcngakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai.
·        Pernukiman, berupa limbah rumah tangga baik padat maupun cair.
1.      Pencemaran yang bersumber dan laut.
·        Kegiatan pelayaran. adanya kebocoran bahan bakar minyak dan instalasi mesin. Tangki dan kegiatan lain dikapal.
·        Kegiatan penambangan minyak lepas pantai yang berupa lumpur bekas pengeboran. Minyak endapan dan poduk lain saat eksplorasi dll.


MASALAH PENCEMARAN LAUT
Masih terdapat banyaknya hambatan baik dalam sistem pencegahan dan penanggulangan masalah pencemaran lautan.  Dalam sistem pencegahan misalnya masih hanyak pernilik kapal dan awak kapal yang belum menyadari akan pentingnya pencegahan pencemaran laut, belum semua kapal melengkapi peralatan pencegahan pencemaran laut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan.  Fasilitas pengelolaan limbah industri di darat yang kurang memadai, menyebabkan limbah dibuang ke sungai melebihi ambang baku mutu yang telah ditetapkan.
Kurangnya kontrol dan pemerintah yang disebabkan terbatasnya biaya dan kiasifikasi sumberdaya manusia. Penegakan hukum yang juga rendah serta masih kurangnya kesadaran bagi masyarakat terhadap pentingnya lingkungan yang baik.
 
KUALITAS LAUT
Banyak faktor menentukan kualitas dan suatu lautan selain parameter-parameter fisik, kimia dan biologi laut itu sendiri. Penurunan kualitas laut tidak hanya ditentukan dan limbah kimia yang berakibat secara langsung, kualitas laut juga ditentukan olch kualitas atau keadaan perairan pantai, karena lautan merupakan satu kesatuan dan permukaan, kolom air sampai ke dasar laut yang di dalamnya terdapat komunitaskomunitas ekosistem seperti:
·        Ekosistem Terumbu karang
·        Ekosistem Hutan Mangrove
·        Ekosistem Padang Lamun
·        Ekosistem Estuaria
Keadaan dan ekosistem yang ada mi sangat mempengaruhi kualitas air dan lautan di sekitarnya, jadi pemanfaatan, pengelolaan ataupun kegiatan yang menyangkut ekosistem tidak dapat dipisahkan dalam menentukan pengelolaan kualitas lautan.

PENURUNAN KUALITAS LAUT


Akibat dan masuknya zat-zat kimia ataupun tumpahan-tumpahan minyak di perairan laut akan mempengaruhi biota-biota laut. baik meracuni secara Iangsung. menekan kehidupan organisrnc maupun rncrusak gen organisme. Seperti komunitas moplankton dipakai scbagai indikator biologis kualitas air law. (selain haktcri dan bentos). fitoplanklon mernegang peranan yang sangat penhing dalam transfer energi dan rantai makanan (fhod chain) yang berlangsung di ekosistern pcrairan. maka dengan rnatinya mikro organisme mi akan berakibat terhadap kehidupan organisme laut lainnya. Penurunan kualitas laut yang diakibatkan partikel tcrsuspcnsi yang dihawa olch aliran sungai maupun kegiatan rekiamasi pantai dan adanya proses sedimcntasi serta abrasi pada daerah pantai yang berakibat dangkalnya perairan.




 
merupakan tempat arus dan gelombang laut pecah sehingga menyebabkan pergolakan arus yang dapat menimbulkan kekeruhan. Kejadian tersebut mempengaruhi tingkat kecerahan yang herakibat terhalangnya sinar matahari yang masuk ke dalam perairan. pada akhirnya akan hcrpcngaruh pada kegiatan fotositesa tumbuhan laut dan bcrpcngaruh terhadap jumlah oksigcn terlarut pada pcrairan tersebut. Kadar oksigen tcrscbut sangat pcnting bagi pcrnafasan ikan dan udang serta merupakan salah satu komponen utama untuk keperluan mctabolisme organisme perairan.


PENGELOLAAN  LAUT

Dalam upaya mengelola kualitas laut tidak dapat dilakukan hannya dilautan itu sendiri. tetapi menyangkut segala aspek pada ekosistem yang dapat mempengaruhi kualitas laut tersebut. Untuk itu perlu dilakukan suatu pengelolaan yang terpadu mulai dan daerah daratan pesisir hingga kedalaman laut lepas. Disamping itu laut mempunyai kemampuan yang besar untuk memurnikan dirinya ( selfpurification ), sehingga segala sesuatu yang terjadi di dalam air laut dapat berubah dalam waktu yang begitu singkat.
Untuk menilai kualitas laut dipergunakan Baku Mutu sesuai acuan Menleri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep-02 I Men KLH / I I 1988. tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Maka perlu diketahui beberapa parameter
penting mutu laut yang berupa fisik, kimia, dan biologi diantaranya:


1.   Parameter Fisik
    - Suhu
    - Kecerahan
    - Bau
2. Parameter Kimia
    - Kadar Nitrogen
    - Kadar fosfat
    - Kadar Iogam
    - Oksigen terlarut
    - Salinitas
    - Derajat keasaman ( pH)
    - Kebutuhan oksigen (BOD)
3.  Parameter Biologi
   - Mikro Organisme
   - Tumbuhan laut


MANAJEMEN LAUT
Untuk menjalankan upaya pengelolaan laut diperlukan suatu perencanaan, kebijakan.dan aturan yang ditata dengan suatu manajemen pengelolaan kegiatan-kcgiatan yang terpadu
dan wilayah pesisir hingga Iautan Dengan mengembangkan elemen-elemen  dan sistem manajernen pengelolaan yang berupa:
·        Urgensi dan manfaat pengelolaan
·        Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan
·        Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan
·        Proses perencanaan dan pengelolaan
·        Elemen dan struktur pengelolaan
·        Penerapan perundang-undangan dan peraturan.
 Untuk mendukung perierapan elemen-elemen tersebut diperlukan kebijaksanaan kebijaksanaan instansi, lembaga terkait dalam pelaksanaan kegiatan untuk pengendalian
dan pencegahan pencemaran seperti :
1.      Peraturan-peraturan Peraturan merupakan salah satu unsur utama dalam rangka mcnccgah Iingkungan dan Bahaya pencemaran yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan . Peraturan ini dapat eliputi lingkup nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat I.
2.      Penanggulangan pencemaran dari daratan Agar masalah pencemaran dapat dikendalikan dibuat program-prgram penenda1ian Pencemaran terutama yang berasal dan daratan seperti :
a.      Program Pencegahan
·        Program inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam dan lingkungan
·        Program konservasi hutan, tanah dan air untuk mengamankan fungsi konservasi
Sumberdaya alam dan lingkungan baik secara biologi maupun non biologi.
·        Program penyuluhan akan pentingnya wilayah pantai
·        Program pengendalian pencemaran lingkungan dengan tujuan menghindari.    
Mengurangi dan mengendalikan pencemaran akibat kegiatan pembangunan
·        Program rehabilitasi lahan kritis.
b.      Program Pemantauan   
PROKASIR yang meliputi pemantauan terhadap limbah cair dan bcrbagai industri, Serta pemantaun terhadap kualitas perairan sungai dimana limbah industri tersebut  di buang.
c.       Fasilitas Pengelolaan limbah
Dalam upaya menurunkan beban limbah, setiap industri merithuat unit pengelilaan limbah terutama untuk industri berskala besar dan sedang.
d.      Penegakan hukum
Penegakan hukum terhadap penanggulangan bahan pencernar pcrlu dilakukan terhadap para pengusaha, masyarakat untuk tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
 
3.      Program penanggulangan pencemaran dan laut
Walaupun terdapat beberapa sumber penyebab pencemaran. minyak merupakan sumber yang paling potensial. Pencegahan pencemaran minvak dan laut tclah diatur dalam berbagai peraturan, baik yang disebabkan karena kegiatan operasional amaupun pencemaran akibat kecelakaan kapal.
Adapun pencegahan minyak dan kegiatan pelayaran adalah:
a.       Pencegahari pencemaran minyak dan kegiatan operasional
b.      Pengendalian tumpahan minyak selama kapal berlayar
c.       Pengendalian tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal.
d.      Penyediaan fasilitas untuk keselamatan pelayaran
4.      Penegakan hukum Menurut peraturan pernerintah no. 4/1982. pelanggaran karena sengaja membuat Pencemaran diberikan sangsi pidana selama 10 tahun atau denda Rp. 100.
5.      Ganti rugi pencemaran laut Mengingat bahwa pemulihan atau keruasakan terdapa sumberdaya hayti. laut dan      Pantai yang tercemar memerlukan dana yang besar dan waktu yang lama.
6.      Penyediaan dana dan sumber daya manusia yang mcmpunyai klasifikasi yang Memadai.
7.      Peningkatan kepedulian masyarakat
·        Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya sumberdaya hayati laut, melalui bahan informasi.
·        Meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat.
·        Mendukung LSM untuk menyelenggarakan pendidikan kelautan bagi masyarakat.
8.      Perencanaan dan proses AMDAL Penataan ruang untuk setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan
9.      Perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi Diperlukan peningkatan dan penerapán ilmu penegtahuan dan teknologi dalam Pengolahan dan pengendalian kualitas lautan


UPAYA PENGOLAHAN KUALITAS  SUMBER DAYA LAUT SECARA OPTIMAL

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.
KETERPADUAN
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebihmantap.
Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar ekosistem.
DESENTRALISASI PENGELOLAAN
Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke daerahdaerah.
Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir. Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.


PENGOLHAN BERBASIS MASYARAKAT
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan sumberdaya kelautan. Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom up policy) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.
ISU GLOBAL
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA (pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri, dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.
Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenaga kerja.

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

PELINDUNGAN LAUT
Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya.  Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan menyelam).
Daerah Perlindungan Laut merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif.  Urgensi keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan.
Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang.  Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Selain itu berbagai masalah lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Lampung seperti; pencemaran lingkungan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, pengambilan terumbu karang, atau berbagai bentuk degradasi habitat pesisir lainnya memerlukan tindakan-tindakan yang pemulihan dan pencegahan agar tidak berdampak pada menurunnya produksi perikanan secara langsung atau tidak langsung serta menjaga kelangsungan sumber daya perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
Sementara itu, program pengelolaan pesisir tingkat pusat maupun lokal harus mencakup mekanisme yang menjamin adanya keikutsertaan masyarakat secara tepat dan efektif dalam pengambilan keputusan pengelolaan pesisir, sehingga kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir dapat tercapai secara efektif.  Dengan demikian, sebagai suatu bagian dari langkah-langkah pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut, pengembangan dan pengelolaan DPL sebaiknya disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan ramah lingkungan dengan “konsep pemberdayaan masyarakat”.  Keterlibatan aktif masyarakat secara luas merupakan inti penting dalam sistem pengelolaan dalam sumber daya laut. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumber daya ini perlu diberdayakan baik pada level perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT



Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya.
Ini seiring  trend di dunia bahwa yang sedang giat-giatnya mengupayakan penguatan institusi lokal dalam pengelolaan laut (pesisir). Ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya  pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara teoritik pemberdayaan (empowerment) dapat diartikan sebagai upaya untuk menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak untuk memperbaiki kualitas hidupnya salah satu cara untuk memperbaiki kualitas hidupnya diantaranya adalah melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lahan pesisir. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Johan Iskandar, 2001).
Dalam pengertian ini, pemberdayaan masyarakat akan berkenaan dengan peran aktif mereka, baik dalam perumusan hukum atau kebijakan maupun dalam pelaksanaannya.  Perencanaan yang tidak melibatkan peran serta masyarakat tentunya akan menimbulkan kendala dalam pelaksanaannya mengingat keberlakuan suatu aturan atau kebijakan tidaklah mungkin dapat diterapkan tanpa adanya peran serta masyarakat yang memang berkeinginan untuk melaksanakan apa yang menjadi isi dan makna pengaturan itu sendiri. Hal ini penting, hukum pada prinsipnya berisikan hal-hal yang berintikan kebaikan. Oleh sebab itu, isi atau substansi hukum yang tidak berisikan nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat tentunya tidak akan berlaku efektif dalam masyarakat tersebut.
Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis komunitas ini bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sejak dahulu, komunitas lokal di Indonesia memiliki suatu mekanisme dan aturan yang melembaga sebagai aturan yang hidup di masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam termasuk di dalamnya sumberdaya kelautan. Hukum tidak tertulis ini tidak saja mengatur mengenai aspek ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya kelautan, namun juga mencakup aspek pelestarian lingkungan dan penyelesaian sengketa (Weinstock 1983; Dove 1986, 1990, 1993; Ellen 1985; Thorburn 2000).
Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan DPL merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal DPL berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Propinsi Lampung, upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.
Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan DPL ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini. Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif. Menurut UU No. 32/2004, Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut.  Otonomi daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif.


PERANGKAT HUKUM


Konsep pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat ini tentu saja memerlukan perangkat hukum untuk menjamin kepastian dan kesinambungan pelaksanaannya.  Dalam hal ini perlu dirumuskan suatu bentuk produk hukum apakah yang paling tepat untuk pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat.  UU 32/2004 memberikan satu jawaban mengenai bentuk produk hukum yang paling tepat untuk memfasilitasi pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat yaitu melalui Peraturan Desa. Peraturan Desa dalam hal ini dianggap paling tepat sebagai produk hukum yang mewadahi pengelolaan dan pengembangan DPL dengan mengacu pada lingkup teritorial desa dimana DPL berada.  Hal ini diperkuat dengan Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Desa mencakup seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam proses pembentukannya, Peraturan Desa yang mengatur tentang DPL berbasis masyarakat membutuhkan partisipasi masyarakat agar hasil akhir dari Peraturan Desa dapat memenuhi aspek keberlakuan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukannya.  Partisipasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa masukan dan sumbang pikiran dalam perumusan substansi pengaturan Peraturan Desa.
Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan DPL dapat difasilitasi dalam suatu bentuk lembaga kemasyarakatan yang khusus melakukan tugas dan fungsi pengembangan dan pengelolaan DPL dalam suatu bentuk Peraturan Desa.  Hal ini sejalan dengan Pasal 211 UU No. 32 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa:
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam  memberdayakan masyarakat desa.

Penetapan DPL berbasis masyarakat dengan peraturan desa, agar DPL memiliki dasar hukum yang jelas dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga masyarakat dapat turut serta melakukan pengawasan dan melakukan larangan-larangan terhadap aktivitas pemanfaatan sumber daya laut dengan dasar yang jelas.
Demikianlah pada akhirnya diharapkan penetapan DPL berbasis masyarakat dapat difasilitasi dalam suatu bentuk Peraturan Desa yang pembentukan implementasinya akan melibatkan partisipasi masyarakat desa secara aktif.  Dengan demikian dapat diharapkan DPL dapat mencapai tujuan dan arti pentingnya sebagai penyangga laut dan masyarakat sekitarnya


DAFTAR PUSTAKA
Baker, I. And P. Kaeoniam (Eds) 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand Unesco. Jakarta.
Beatley, T, D. J. Browner and A.K. Schuab. 1994. an Introduction to Coastal Zones Management. Island Press, Washington, D.C.
Anonimous. 1990. Strategi Nasional Pengelolaan Pengelolaan Wilayah Pcsisr dan lautan. Temu Wicara Kelautan Juni 1990.
Broedie, J. 1995. Water Quality an Pollution Control. In Kenji l-lotta an Ian Dutton (Ed) Coastal Management in the Asia Pacific: Isue and Approaches. Japan International Marine Science and Technology Federation. Tokyo.
Dove, M. (1986) “The practical reason for weeds in Indonesia: peasant vs. state views of Im-perata and Chromolaena,” Human Ecology 14(2): 163-90.
–, ed. (1990) The real and imagined role of culture in development: case studies from Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
(1993) “Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the ecology and economy of the tropical rainforest,” Economic Botany 47(2): 136-47.
Ellen, R.F. (1985) Patterns of indigenous timber extraction from Moluccan rain forest fringes. Journal of Biogeography (12): 559-87.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.
Indonesia.  Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahuan 2004 Nomor
Iskandar, Johan, 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove, 29-30 Agustus, Lampung.
Thorburn, C.C. (2000) “Changing customary marine resource management practice and institutions: the case of Sasi Lola in the Kei Islands, Indonesia,” World Development 28(8): 1461-148

 














EKOSISTEM PADANG LAMUN



1. Deskripsi Bioekologis
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang.Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun (Seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 52 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2) Potamogetonaceae Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp., Linckia sp.), dan cacing Polikaeta


Gambar 24 : Jenis-Jenis Lamun
2. Klasifikasi
Klasifikasi menurut den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) :
Divisi         : Anthophyta
   Kelas : Angiospermae
                   Famili : Potamogetonacea
                                   Subfamili : Zosteroideae
                                                   Genus : -   Zostera ,
-      hyllospadix,
-        Heterozostera
Subfamili : Posidonioideae
Genus : Posidonia
Subfamili : Cymodoceoideae
Genus : - Halodule,
 - Cymodoceae
- Syringodium
 - Amphibolis
- Thalassodendron
Famili                         : Hydrocharitaceae
Subfamili   : Hydrocharitaceae
Genus                        : Enhalus
Subfamili   : Thalassioideae
Genus                        : Thalassia
Subfamili   : Halophiloideae
Genus                        : Halophila 

3. Fungsi Padang Lamun
Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu : Produsen detritus dan zat hara. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah :
1.       Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir
2.       Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
3.       Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
4.       Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan.
5.       Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif
6.       Mampu hidup di media air asin
7.       Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Padang lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan. Lamun (seagrass) adalah kelompok tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) dan berkeping tunggal (Monokotil) yang mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut (Sheppard et al., 1996). Komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasangsurut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998). 


Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut  dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, sebagai berikut :
  1.    Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975).
  2. Sebagai habitat  biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes) (Kikuchi & Peres, 1977).
  3. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedmen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi (Gingsuburg & Lowestan, 1958).
  4. Sebagai pendaur zat hara : Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.
Sedangkan menurut Philips & Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi sebagai :  

  1. Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui  tekanan–tekanan dari  arus dan gelombang.
  2. Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi.
  3. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun.
  4. Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit.
  5. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
  6. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu :
  1. Produsen detritus dan zat hara.
  2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang.
  3. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut,  terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini.
  4. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
Selanjutnya dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara modern. Adapun pemanfaatan lamun tersebut baik secara modern maupun tradisional yaitu sebagai berikut :


Di alam padang lamun membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun  masih belum banyak dikenal  baik pada kalangan akdemisi maupun  masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam menjalankan  fungsi ekologisnya.
Selain itu, padang lamun diketahui mendukung berbagai jaringan rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor. Nilai ekonomis biota yang berasosiasi dengan lamun diketahui sangat tinggi. Ekosistem padang lamun memiliki nilai pelestarian fungsi ekosistem serta manfaat lainnya di masa mendatang sesuai dengan perkembangan teknologi, yaitu produk obat-obatan dan budidaya laut. Beberapa negara telah memanfaatkan lamun untuk pupuk, bahan kasur, makanan, stabilisator pantai, penyaring limbah, bahan untuk pabrik kertas, bahan kimia, dan sebagainya.
Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimen yang terlarut dalam air dan menstabilkan dasar sedimen (Kiswara dan Winardi, 1999). Peranannya di perairan laut dangkal adalah kemampuan berproduksi primer yang tinggi yang secara langsung berhubungan erat dengan tingkat kelimpahan produktivitas perikanannya. Keterkaitan perikanan dengan padang lamun sangat sedikit diinformasikan, sehingga perikanan di padang lamun Indonesia hampir tidak pernah diketahui. Keterkaitan antara padang lamun dan perikanan udang lepas pantai sudah dikenal luas di perairan tropika Australia (Coles et al., 1993).
Ekosistem padang lamun yang memiliki produktivitas yang tinggi, memiliki peranan  dalam sestem rantai makanan khususnya pada periphyton dan epiphytic  dari detritus yang dihasilkan dan serta lamun mempunyai hubungan ekologis dengan ikan melalui rantai makanan  dari produksi biomasanya seperti yang diisajikan pada gambar dibawah ini:


 




 
4. Pemanfaatan Padang Lamun
Padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai berikut :
  1.   Tempat kegiatan marikultur berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram.
  2. Tempat rekreasi atau pariwisata.
  3. Sumber pupuk hijau.
 5. Ciri-ciri Ekologis
Menurut Den Hartog, 1977, Lamun mempunyai beberapa sifat yang menjadikannya mampu bertahan hidup di laut yaitu : Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran umpur/pasir Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan Mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur generatif secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air Mampu hidup di media air asin Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
6. Karakter Sistem Vegetatif
 Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang tinggi, hampir semua genera memiliki rhizoma yang sudah berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong

Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologik lamun (den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai dari laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah surut. Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas.
a.       Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti Halophila dan Halodule  memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat. Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem (jaringan yang menyalurkan air) yang sangat tipis. Karena akar lamun tidak berkembang baik untuk menyalurkan air maka dapat dikatakan bahwa lamun tidak berperan penting dalam penyaluran air.
Patriquin (1972) menjelaskan bahwa lamun mampu untuk menyerap nutrien dari dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rhizosper Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m-2.day-1. Koloni bakteri yang ditemukan di lamun memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabolisme untuk menyusun struktur komponen sel.
Diantara banyak fungsi, akar lamun merupakan tempat menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Sebagian besar oksigen yang disimpan di akar dan rhizoma digunakan untuk metabolisme dasar sel kortikal dan epidermis seperti yang dilakukan oleh mikroflora di rhizospher. Beberapa lamun diketahui mengeluarkan oksigen melalui akarnya (Halophila ovalis) sedangkan spesies lain (Thallassia testudinum) terlihat menjadi lebih baik pada kondisi anoksik.
Larkum et al (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen. Dengan demikian pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi.
b.      Rhizoma dan Batang
Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Kemampuannya untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan T. Ciliatum memiliki energi yang kuat dan dapat hidup berkoloni disepanjang hamparan terumbu karang.
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam  stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun.
c.      Daun
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah.
Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan  difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis.

1.      Faktor-faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan kestabilan ekosistem padang lamun adalah :
a.  Kecerahan
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun. Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesa tersebut dan  jika suatu perairan mendapat pengaruh akibat aktivitas pembangunan sehingga meningkatkan sedimentasi pada badan air yang akhirnya mempengaruhi turbiditas maka akan berdampak buruk terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini secara luas akan mengganggu produktivitas primer ekosistem lamun.
b.    Temperatur
Secara umum ekosistem padang lamun ditemukan secara luas di daerah bersuhu dingin dan di tropis. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan temparatur. Kondisi ini tidak selamanya benar jika kita hanya memfokuskan terhadap lamun di daerah tropis karena kisaran lamun dapat tumbuh optimal hanya pada temperatur 28 – 30 0C. Hal ini berkaitan dengan kemampuan proses fotosintesis yang akan menurun jika temperatur berada di luar kisaran tersebut.

c.         Salinitas
Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10 – 40 ‰ dan nilai optimumnya adalah 35 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi juga terhadap  jenis dan umur. Lamun yang tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas.
d.    Substrat
Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai karang. Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasok nutrien.
e.    Kecepatan arus
Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik, jenis Thallassia testudium mempunyai kemampuan maksimal untuk tumbuh.


2.       Jenis Fauna dan Flora yang Terdapat Pada Padang Lamun
Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut, seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp., Linckia sp.), dan cacing Polikaeta.
3.      Ekosistem Padang Lamun di Perairan Indonesia
Indonesia yang memiliki panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai padang lamun yang luas bahkan terluas di daerah tropika. Luas padang lamun yang terdapat di perairan Indonesia mencapai sekitar 30.000 km2 (Kiswara dan Winardi, 1994). Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horisontal, maka dapat dikatakan ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang (pada gambar dibawah). Dengan letak yang berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun tidak terisolasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem tersebut.


Adanya interaksi yang timbal balik dan saling mendukung, maka secara ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.  Adapun peran lamun tersebut (Nienhuis et al., 1989; Hutomo dan Azkab, 1987; Zulkifli, 2000) adalah sebagai berikut:
1.      Produsen primer, dimana lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut, baik melalui pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi serasah
2.      Sebagai habitat biota, lamun memberi perlindungan dan tempat penempelan hewan dan tumbuh-tumbuhan
3.      Sebagai penangkap sedimen, lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak
4.      Sebagai pendaur zat hara
5.      Sebagai makanan dan kebutuhan lain, seperti bahan baku pembuatan kertas.

Sedangkan dalam Fortes (1990), peran lamun bagi manusia baik langsung maupun tidak langsung, dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Peran tradisional, seperti sebagai bahan tenunan keranjang, kompos untuk pupuk
2.     Peran kontemporer, seperti penyaring air buangan; pembuatan kertas.
1.      Permasalahan
Lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen. Lamun terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun (Thalassia) adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Menurut Haruna (Sangaji, 1994) juga mendapatkan Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir sedikit berlumpur dan kadang-kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Keberadaan lamun  pada kondisi habitat tersebut, tidak terlepas dan ganguan atau ancaman-ancaman terhadap kelangsungan hidupnya baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas manusia.
Kerusakan yang terjadi pada padang lamun dapat disebabkan oleh natural stress dan anthrogenik stress. Natural stress bisa disebabkan gunung meletus, sunami, kompetisi, predasi. Sedangkan anthrogenik stress bisa disebabkan :
·         Perubahan fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.
·         Eutrofikasi (Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh sinar matahari).
·         Aquakultur (pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak).
·         Water polution (logam berat dan minyak).
·         Over fishing (pengambilan ikan yang berlebihandan cara penangkapannya yang merusak.
Selain itu juga limbah pertanian, industri, dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur, lalu lintas perahu yang padat, dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempengaruhi kerusak lamun. Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan  yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu:
1.       Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2.       Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat planktonik.
3.       Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun.
4.       Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul.
Banyak kegiatan atau proses dari alam maupun aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan hidup ekosistem lamun seperti berikut :
1.       Dampak kegiatan manusia pada ekosistem padang lamun (Bengen, 2001)




Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi  lingkungan pertumbuhan juga mempengaruhi kelangsungan hidup suatu jenis lamun,  seperti yang  dinyatakan oleh  Barber (1985) bahwa  temperatur yang baik untuk mengontrol produktifitas  lamun pada air adalah sekitar 20 sampai dengan  300C untuk jenis lamun Thalassia testudinum dan sekitar 300C  untuk Syringodium filiforme. Intensitas cahaya   untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan  dengan meningkatnya suhu  dari 290C  sampai 350C untuk Zostera marina, 300C  untuk Cymidoceae  nodosa dan 25-300C untuk Posidonia oceanica.
Kondisi ekosistem padang lamun di perarain pesisir  Indonesia sekitar 30-40%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem  padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius  akibat pembuangan  limbah indusri dan pertumbuhan penduduk  dan diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan pulau Lombok ganguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan sepsiens lamun (Fortes, 1989).
Selanjutnya dijelaskan oleh Fortes (1989)  bahwa rekolonialisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu  antara 5-15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar  22800-684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktiviras pembangunan  di wilayah pesisir hendaknya dapat memenimalkan  dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu: aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan pesisir berasal dari aktivitas masyarakat dalam mengeksploatasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potassium sianida, sabit dan gareng serta pembuangan limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini Fauzi (2000) menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akifitas masyarakat terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikam istrumen universal dalam mengevaluasi  dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.
1.      Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun
Permasalahan dan isu pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan dalam hal ini ekosistem padang lamun, secara umum sedang dihadapi di Indonesia, bahkan juga sama dengan yang terjadi di beberapa negara berkembang lainnya. Walaupun dalam skala mikro bisa jadi tidak terlalu persis karena perbedaan sosial ekonomi dan budaya. Karena itu, isu  persoalan seperti kemiskinan, konflik interes antar lembaga, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, pencemaran laut dan pesisir, keterbatasan dana pengelolaan merupakan persoalan yang sedang dihadapi. (PKSPL, 1999).
Disadari bahwa padang lamun memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan demikian, mempertahankan areal-areal padang lamun, termasuk tumbuhan dan hewannya, sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, akhir-akhir ini, tekanan penduduk semakin meningkat akan sumberdaya laut menjadi faktor utama dalam perubahan lingkungan ekosistem di laut. Yang menjadi kelemahan adalah bahwa selama ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa areal pesisir mutlak merupakan milik umum yang sangat luas yang dapat mengakomodasi segala bentuk kepentingan termasuk kegiatan yang berbahaya sekalipun. Ini suatu kelemahan  cara berpikir dan pengetahuan  yang dapat mengancam keberlangsungan sumber daya pesisir dan laut salah satunya adalah ekosistem padang lamun. Meskipun telah banyak produk hokum yang jelas–jelas mengatur bahwa tidak ada satu orang ataupun kelompok yang dapat semena-mena  memanfaatkan  dan mengelola kawasan pesisir ini, tetapi penegakkannya melalui pengenaan sanksi yang tegas dan transparan  belum berjalan sebagaimana mestinya.
Meskipun beberapa areal ekosistem pesisir termasuk areal padang lamun di Indonesia telah dimasukan ke dalam suatu kawasan lindung, namun pada kenyataan di lapangan menunjukkan banyak diantaranya yang masih mendapat tekanan yang cukup berarti. Sebagai upaya pemecahan, kini pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan perguruan tinggi  dan instansi  terkait  lainnya berusaha mengembangkan  pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak, yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu atau Integrated Coastal Management (ICM).  Pengeloaan pesisir secara terpadu memerlukan  justifikasi yang bersifat komprehensip dari subsistem-subsistem yang terlibat di dalamnya. misalnya implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam perspektif mikro maupun makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial.
Pada lingkunag pesisir, memiliki kendala khusus dalam melihat implikasi dari suatu strategi pengelolaan, hal ini disebabkan karena adanya bermacam-macam aktivitas dan kelompok masyarakat sebagai pengguna, seperti rencana pengelolaan  yang dibuat oleh pemerintah sering tidak dapat mencakup semua kepentingan masayarakat dan sebaliknya masyarakat menganggap sumber alam  sebagai open acces resources (Raharjo, 1996). Namun yang paling penting dalam pengelolaan ekosistem di dalam wilayah pesisir harus diingat, bahwa suatu ekosistem di wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau diantara beberapa ekosistem saling terkait baik secara biogeofisik, maupun secara sosioal-ekonomi; dan kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung pada aktifitas manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta pengunaan sumber daya ekosistem lamun yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara terpadu memiliki pengertian bahwa  pengelolaan sumber daya alam jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dangan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah area pesisir (stakeholder) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam  diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai  komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Raharjo (1996) mengemukakan  bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan  mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah dekstrusi masyakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan  terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut.
 



DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan terumbu di Pari Pulau Seribu.Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi,Budidaya, Oseanografi,Geologi dan Perairan. Balai  Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H.1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari Teluk Kuta, Lombok.Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Gramedia, Jakarta.
PKSPL(Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan).1999. Perumusan kebijakan pengelolaan hayati laut Sulawesi Selatan. Proyek kerjasama BAPEDAL dengan Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Raharjo,Y.1996. Community based management di wilayah pesisir. Pelatihan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.